Logo TandaSalib

Spiritual Journey, Bukan Sembarang Perjalanan

Foto Spiritual Journey di Susteran PIJ, Cikanyere.
Misa Minggu Palma di Susteran PIJ, Cikanyere

Mampukah aku seorang pendosa ini benar-benar merasakan kehadiran-Nya dalam waktu 3 hari 2 malam? Ini adalah pertanyaan yang terbesit saat pertama kali aku memutuskan mengikuti Spiritual Journey yang diadakan Tim Tanda Salib di Lembah Karmel-Cikanyere, pada 8-10 April 2022.

‘Menemukan Tuhan dalam segala hal’. Satu kalimat ini menjadi peganganku selama kegiatan Spiritual Journey. Selama retret, aku dan peserta lainnya diajak untuk lebih peka merasakan kehadiran Tuhan. Membaca sinyal-sinyal yang diberikan-Nya. Serta membuka diri agar mampu melihat Tuhan yang sedang bersemayam di dalam hati kami masing-masing.

Dalam wujud/bentuk/peristiwa apa aku menemukan-Nya?

‘Ia hadir dalam keheningan’. Saat mode silentium/hening, aku jadi belajar untuk ‘lebih menyadari’. Terutama menyadari keberadaanku dan rahmat serta karunia Tuhan. Lewat napas kehidupan, lewat lidah yang masih bisa mengecap rasa, dan lewat hati yang rapuh sekalipun.

‘Ia hadir dalam rupa pemandangan’. Aku tak berhenti mengucap syukur untuk pemandangan alam nan indah yang bisa kunikmati persis berada di depan kamarku. Sejauh mata memandang, aku bisa sejenak melupakan gedung-gedung pencakar langit di Ibukota. Aku melupakan lelahku. Aku menarik napas lega dan berucap ‘terima kasih Tuhan’.

‘Ia hadir dalam situasi tak terduga’. Tak pernah kusadari, ternyata Tuhan juga hadir dalam sesi games. Ada sebuah sesi dalam retret dimana kami diajak bermain (sejenis permainan ular tangga). Permainan ini mengajarkanku tentang perjalanan panjang kehidupan. Ada naik, ada turun. Ada hukuman, ada tantangan. Namun, semua akan berakhir di  surga. Dan satu-satunya cara agar sampai di sana ialah dengan terus berjalan dan tidak menyerah. Di tengah permainan, aku yang hampir putus asa dikirimkan penolong oleh Tuhan.

‘Ia hadir dalam sosok yang kurindukan (ayah)’. Di malam terakhir, ada sesi bernama ‘Reconciliation Nite’. Dalam sesi ini peserta akan dipertemukan satu sama lain untuk belajar menjadi telinga bagi orang lain. Orang pertama yang dipertemukan Tuhan padaku adalah seorang ayah. Oleh pemandu retret, aku diberi kesempatan boleh menceritakan pergumulanku pada bapak tersebut. Aku bercerita tentang Salib-ku yang sedang terasa berat. Sungguh sebuah kerinduan yang lama kusimpan, yakni berkeluh kesah pada ayahku. Tuhan hadir malam itu menjawab kerinduanku.

Pada akhirnya, aku mampu menyadari bahwa ‘Ia hadir dalam setiap hal’. Spiritual Journey ini mengajakku untuk merefleksikan setiap peristiwa kehidupan. Dan ada sebuah kalimat yang sangat menampar kutemukan dalam satu kesempatan. Kalimat ini merupakan hasil pemikiran filsuf Socrates, ialah “Hidup yang tidak direfleksikan (diperiksa) tidaklah layak dijalani”. Hidup yang tidak direfleksikan berarti hidup seperti robot yang otomatis dan tanpa makna. Refleksi, dalam arti sesungguhnya, adalah belajar dari apa yang sudah kita lalui sebelumnya.

Selain belajar ‘menemukan Tuhan dalam segala hal’, aku juga masih menemukan banyak hal dalam Spiritual Journey di Cikanyere. Satu hal yang paling manis adalah ketika aku ‘berdoa spontan’ saat duduk dalam ruang adorasi’ di Lembah Karmel. Seuntai doa mengalir begitu saja dan sangat membekas di ingatanku. “Ya Tuhan, jika memang aku yang ada di dalam doanya…kabulkanlah. Jika bukan aku, biarkan ia bahagia dengan pilihannya”, ucapku sesaat setelah memejamkan mata dan mulai berdoa.

Aku juga menerima kembali ‘Sakramen Tobat’ di hari terakhir retret. Ini sebuah pencapaian besar bagiku secara pribadi, setelah sebelumnya aku mengalami pergumulan panjang dengan diri sendiri tentang pertobatan. Faktanya lagi, ini adalah Sakramen Tobat yang kedua sepanjang umur hidupku. Sungguh terharu dan merasa menjadi baru.

Semakin merasa terharu ketika mendengar kisah Beata Clara Fey yang menjadi spiritualitas dan semangat para Suster Sang Timur (Konggregasi PIJ). Masih berkesinambungan dengan tema menemukan Tuhan dalam segala hal, lewat Beata Clara Fey aku juga belajar untuk selalu merasakan kehadiran Tuhan. Seperti pepatah dari Sang Beata, “Ibarat udara yang hidup, begitulah hendaknya kita mengingat Yesus”.
Terakhir, aku akhirnya membawa pulang sebuah pertanyaan tentang ‘panggilan hidup’. “Kemanakah Tuhan akan membimbing langkahku?” Sungguh, bukan sembarang perjalanan!

Lismei Yodeliva