Logo TandaSalib

Minyak Goreng, Problem Korban, dan Yesus

Presiden minta pengusaha jernih sikapi larangan ekspor minyak goreng.
Presiden dalam keterangannya terkait pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/4/2022). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/aa.

Beberapa bulan terakhir, sementara orang Kristen dan Islam di seluruh dunia bersiap menjalankan puasa menurut ajaran agama masing – masing, terjadi sebuah masalah di Indonesia yang berdampak ke seluruh negeri. Harga minyak goreng naik, antara Rp 20.000 sampai Rp 48.000 di berbagai tempat, sampai Mendag Muhammad Lutfi tidak mampu berbuat banyak kepada mafia yang bertanggung jawab. Orang yang mengantri ada yang mati di tengah antrian, diduga lelah dan sesak napas. Masyarakat yang mencoba mencari fakta dan keadilan ditekan sedemikian rupa oleh para penimbun minyak goreng, sehingga ketika ia melapor ke polisi, polisi tidak melakukan hal apapun yang berarti – ada kolusi yang terjadi. Pemerintah menelusuri berbagai aliran dana, sehingga ketahuan bahwa pelakunya adalah orang Kementerian Dagang sendiri. Pemerintah pusat terpaksa mengatur ekspor, namun buah sawit dikhawatirkan busuk karena tidak terproses akibat petani kecil dan menengah kekurangan kapasitas penyimpanan. Indonesia didesak oleh ekonom untuk kembali memperbesar volume ekspor. Di tengah semua kesulitan, kemarahan, dan kedukaan tersebut, mantan presiden RI, Megawati Soekarnoputri, bersama partainya, PDIP, meluangkan waktunya untuk menjawab kritik netizen soal mengganti makanan yang digoreng dengan mengadakan makanan yang dimasak dengan cara lain melalui acara masak – memasak, yang ia hadiri secara daring. 

Dalam novel Albert Camus, The Plague, yang diterjemahkan dari versi bahasa Prancis, La Peste, dikisahkan seorang dokter yang menghadapi wabah pes di sebuah kota di Maroko, di benua Afrika. Tikus – tikus keluar dari selokan, mati di tengah kota, dan menularkan penyakit pes ke seluruh kota, sehingga mengancam penduduk kota dengan kematian secara perlahan. Kota ditutup – tidak ada orang yang boleh masuk atau keluar. Reaksi penduduk kota beragam, tetapi yang jelas Camus menggunakan tokoh dokter Rieux untuk menyampaikan argumennya: Penderitaan, keadaan, kesulitan, semua itu bisa nampak absurd, tidak sesuai dengan kemauan kita. Kita bisa terjebak dalam lingkaran setan, atau apapun. Di hadapan penderitaan yang absurd tersebut, kita harus berpihak kepada korban dari penderitaan tersebut alih – alih melarikan diri dengan pemahaman, pemikiran, atau harapan kosong, atau lebih buruk lagi: Memanfaatkan penderitaan tersebut. 

Foto stok gratis abstrak, absurde, aneh
Ilustrasi absurdisme. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-pantai-liburan-tangan-6636612

Kejadian penimbunan minyak juga satu arah dengan wabah. Tanpa mengabaikan pandemi COVID-19 yang masih berlangsung sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda hakikat dan penyebabnya, dan mengakibatkan kelumpuhan ekonomi skala besar, menyingkap inkompetensi beberapa pejabat negara, serta membunuh banyak orang,  penimbunan minyak merupakan sebuah pemanfaatan yang menyangkut banyak orang, beberapa sudah hidup cukup susah, dan turut menyusahkan orang yang biasanya tidak kenal susah, sehingga mirip dengan COVID-19 yang tidak pandang bulu. Poin absurdnya, orang pemerintah Indonesia sendiri, yang harus mencegah hal demikian, justru menjadikan hal itu mungkin. Hal ini menambah beban mental pengguna minyak goreng, dari pihak orang rumahan, pihak penjaja gorengan depan pasar, sampai pihak industri sawit yang menghasilkan minyak goreng itu sendiri. 

Problem absurditas ini sudah ada sejak akhir Filsafat Modern. Abad postmodern merupakan abad yang absurd, bukan sekedar karena penderitaan, tetapi karena manusia sudah tahu cara menghindari penderitaan, dan penderitaan dalam skala yang makin besar tetap terjadi dan malah menjadi semakin umum. Dalam Deklarasi HAM:

Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.

Universal Declaration of Human Rights, Art. 25, No. 1

Prinsip ini dan prinsip lainnya masuk akal dan bisa dipegang, namun penderitaan tetap ada, bahkan dilaksanakan oleh tangan manusia yang mengetahui dan bertugas untuk menjalankan prinsip tersebut. Semua pemikiran Filsafat Modern seakan tidak berdaya untuk menghentikan penderitaan. Perang tetap terjadi, dari Perang Dunia sampai perang antara Rusia dan Ukraina, justru karena mereka adalah saudara dan memiliki hubungan sejarah. Pandemi COVID-19 hampir dinyatakan selesai, lalu kunjungan orang asing membawa varian yang baru dan lebih menyusahkan. Harapan bahwa gerakan Pencerahan akan mengubah hidup manusia tidak terjadi. 

Jawaban Camus tetap relevan hingga abad ke – 21: Berpihaklah pada korban! Apakah gunanya kita berbicara mengenai kesehatan dan hidup sejahtera kalau orang yang menjadi korban penderitaan tidak kita bantu? Prinsip, moral, pemikiran, semua itu adalah suatu hal, tindakan adalah hal lain yang tidak kalah penting. Catatan: Manusia Indonesia berhadapan dengan korupsi yang demikian absurd, yang tiada henti dan berumur lebih panjang dari pandemi, yang tidak habis – habis dan merasuk orang – orang, baik itu presiden, menteri, PNS, juga polisi, tentara, kerah biru, sampai ke tukang parkir, dan preman. Dalam catatan ini, ada sebuah problem.  

Problem Keberpihakan pada Korban

Adakah sekelompok orang yang luput dari kesalahan? Coba arahkan pikiran pada orang kecil, miskin, tersisih, lemah, difabel. Ada sedikit kerumitan. Di hadapan pasukan manusia korup yang bertindak kejam bak zombie, menindas dan mengancam manusia tanpa peduli apa yang manusia yakini, kesulitan yang ia alami, atau pendapat yang ia miliki, apapun agama dan pendidikannya, atau apakah ia bersalah atau tidak bersalah, satu – satunya cara untuk menjadi orang benar adalah berpihak kepada sang korban. Muncul pertanyaan: Siapakah korban? 

Jika kita mengintip koran yang ditujukan kepada orang yang kurang berada, kita akan melihat berita perselingkuhan, pembunuhan, pemerkosaan, kemabukan, pornografi, perampokan, dan kejahatan – kejahatan lainnya yang luput dari liputan koran yang patuh pada prinsip jurnalistik. Penulis pribadi pernah berjumpa dengan seorang cacat di pinggir jalan. Selidik demi selidik, dia adalah preman di daerah penulis, dari rel kereta dekat rumah sampai ujungnya di jalan raya. Banyak orang kecil, miskin, tersisih, dan lemah, serta difabel yang ternyata tidak lemah – lemah amat. Mereka berlaku keras dan menggunakan kekuatan mereka yang tersisa untuk berbuat jahat. Bayangkan dialog imajiner:

A: “Salah sendiri kalau mereka miskin! Sudah tidak tahu dan tidak punya apa – apa, mereka berbuat jahat pula.”

B: “Benarkah? Bukankah orang kaya yang menindas mereka?”

A: “Entah orang kaya menindas mereka atau tidak, yang jelas mereka tetap bersalah dan tetap harus menerima akibat perbuatan mereka sendiri!”

Kriminal sepekan, laporan palsu begal hingga pesta narkoba
Puluhan pemuda menggelar pesta narkoba berkedok “Sahur On The Road” (SOTR) di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (27/4/2022) dinihari. ANTARA/ Instagram/merekamjakarta/Abdu Faisal.

Apakah dialog imajiner di atas benar? Kenyataan bahwa orang kaya maupun miskin sama – sama bisa bersalah tidak dapat dipungkiri. Permasalahan yang lebih rumit lagi, misalnya kalau menyangkut cancel culture. Johnny Depp yang sudah dimusuhi dan dihancurkan sebagai pelaku kekerasan terhadap Amber Heard yang menjadi korban, ternyata merupakan korban, dan Heard merupakan pelaku. Pertanyaan: Jika mereka bukan korban penderitaan semata, melainkan sekaligus pelaku dari penderitaan, lalu siapa korban yang tidak bersalah? Apakah bisa dikatakan bahwa korbannya adalah alam ciptaan? Alam ciptaan bisa seakan – akan membalas dengan bencana alam. Jadi, mereka tidak butuh dibela, karena kita yang butuh mereka. Apakah semua orang adalah korban sekaligus pelaku? Jika korban tindakan manusia adalah manusia yang berjiwa itu sendiri, apakah yang manusia bisa perbuat? Bukankah berarti manusia menanggung kesalahannya sendiri? Lalu, bagaimana manusia bisa menegakkan keadilan kalau semua manusianya adalah kriminal? Jika ya, maka mau buat apa? Apakah kita akan mulai menghukum diri sendiri? Atau, bunuh diri? Tindakan tersebut melawan harkat dan martabat manusia. Berpuasa dengan sedikit makan dan minum? Orang yang berpuasa tetap bisa menghajar orang yang makan di hadapannya. Adakah korban? 

Jawabannya adalah: Ada. Kenyataan bahwa seorang manusia merupakan seorang penjahat bukan berarti ia tidak akan dirawat jika ia mengalami luka tembak. Anggap tokoh A di atas tetap menggugat sang korban yang sekaligus pelaku. Jika kita mengikuti Descartes, penulis tinggal punya satu ide tersisa soal siapa korban tak bersalah: Tuhan. 

Tuhan sebagai Korban Tindakan Jahat Manusia

Tuhan adalah Korban kejahatan manusia yang tidak bersalah. Asumsikan bahwa ada Tuhan yang Hidup, yang menciptakan kita. Tuhan adalah pihak yang memampukan kita untuk berpikir. Descartes bahkan maju lebih jauh dan berargumen bahwa jika kita yakin kepada Tuhan yang baik, kita bisa yakin dengan pikiran kita tanpa perlu khawatir dengan tipuan apapun. (Orang yang jatuh pada sikap skeptis sulit untuk keluar dari sikap skeptis tersebut, dan usaha Descartes bisa dikritik, karena orang yang memegang prinsip tersebut bisa berpikir salah juga, seyakin apapun mereka. Bisa dibaca sendiri bahwa tujuan Descartes adalah melampaui para skeptis yang ia debat di dalam Meditations on First Philosophy.)  Karena kita mampu berpikir, kita tahu apa yang baik, sehingga kita mampu memilih untuk berbuat baik. Kita bisa saja bertindak tanpa menggunakan pikiran tersebut dengan baik akibat keadaan badan, dan karena itu jatuh kepada perbuatan jahat. Karena kejadian – kejadian demikian, ada orang yang tidak lagi percaya kepada Tuhan, justru karena kejahatan manusia. Ada orang yang menghujat Tuhan karena alasan yang sama. Sebuah sosok – entah pembaca memahaminya secara real atau abstrak – bernama Tuhan sudah mengalami “pencemaran nama baik” akibat penderitaan. Dengan kata lain, manusia yang berbuat jahat, kok Tuhan yang disalahkan dan ditolak? 

Keberatan 1: Bencana alam terjadi, padahal Tuhan Maha Baik. Tuhan mencipta alam, maka Tuhan bertanggung jawab atas darah manusia. Kalau terjadi bencana alam yang bukan salah manusia, ayo, mari menolong korban alih – alih menghujat Tuhan! 

Keberatan 2: Bagaimana dengan mengadili Tuhan? Bisakah hal itu dilakukan? Jangan lupa, banyak orang mencari Tuhan untuk minta pertolongan, tetapi tidak ketemu; Mengapa ada yang mencarinya dengan harapan dapat mengadili Dia? Jangan – jangan, dia, sang penghujat Tuhan, tidak kenal – kenal amat dengan Tuhan, tetapi cuma perlu ‘samsak’ yang bisa dipukuli dengan hujatan lidah!

Salib Yesus Sebagai Tanda Keberpihakan Tuhan kepada Manusia

Foto Salib Latin di Portugis oleh Magda Ehlers.
Salib Latin di Portugal. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/silang-dgn-patung-kristus-2549050

Jika kita membaca salah satu saja dari empat kitab Injil, maka kita akan tahu, betapa manusia gemar menjadikan Tuhan sebagai jalan keluar dari penderitaan, sekaligus ‘samsak’ demi pelampiasan ketidakberdayaan dan kesalahan dirinya sendiri. Yesus menyatakan diri sebagai Anak Allah. Ia berbuat baik dan menegakkan kebenaran di dunia. Manusia ingin menjadikan dia raja setelah memberi makan banyak orang. Mereka menyambutnya ke Kota Suci dan berteriak “Hosanna!” Manusia yang sama setuju kalau orang menyalibkan dia tanpa alasan apapun selain kemarahan, kekecewaan, ketakutan, korupsi, ketidakberdayaan, dan iri hatinya sendiri. Salib itu, ironisnya, justru mengingatkan kita pada satu – satunya hal yang dapat menyatukan kita, yaitu persis penderitaan itu sendiri. Semua manusia bersalah, benar juga, tetapi manusia juga menderita, entah karena orang lain atau dirinya sendiri. Entah siapa penyebabnya, yang jelas manusia menderita. 

Bisa dikatakan bahwa semua manusia menderita. Apakah ia ditaruh di tempat aman dan nyaman, jauh dari bahaya? Ia merasa terpisah dan sendirian, merasa tidak bebas dan frustasi. Apakah ia ditaruh di tengah kamp pengungsian di tengah peperangan? Lebih lagi, ia merasa takut, gelisah, dan tercabut dari hidupnya. Apakah ia ditaruh di tengah kota besar? Ia merasa tertekan oleh ramai dan hiruk pikuk kota yang menuntut ini dan itu dari seluruh hidupnya, sehingga ia merindukan pedesaan. Apakah ia ditaruh di desa? Ia merasa minder dan terbelakang di hadapan kemewahan yang dinikmati penduduk kota, atau ia merasa harus membanggakan desanya, kedekatan dan keharmonisannya dengan alam, serta kearifan lokal. Apapun reaksinya, kenyataannya ia tetap merupakan orang yang bereaksi dan bukan yang beraksi, sehingga ia tetap menjadi kaum yang diukur oleh orang kota, dan itu merupakan sebuah penderitaan juga. 

Jika pembaca tidak dapat diyakinkan, karena logika induktif dalam pencacahannya tidak mungkin ada data yang lengkap, rasanya kita bisa tetap berkata bahwa semua manusia menderita secara logis, karena semua orang merasakan penderitaan. Manusia bekerja dan mengalami penderitaan, dan kalau ada orang yang tidak mau bekerja, struktur sosial akan menolak untuk memberi dirinya subsidi. Jika ia mendapatkannya juga, ia akan menghadapi keinginan yang tidak pernah terpenuhi, dan karena itu ia menderita. Jika ia berbuat jahat, ia akan menderita karena tuntutan suara hati. Jika ia mengubur suara hati, maka ia akan terpisah dari orang lain dan mengalami keterasingan dari orang – orang yang menderita, sehingga ia merasa kesepian, ketakutan, dan kosong. Jika ia hendak mematikan keinginan tersebut, pembaca akan kehilangan kemanusiaan pembaca. Jika pembaca mengambil apapun yang pembaca mau dengan kuasa pembaca, dengan menjadikan, katakanlah, kelemahan kontrol emosi pembaca, menjadi alat pecut untuk menaikkan kerja anggota perusahaan, pembaca takkan pernah puas. 

Tidak ada pelarian dari penderitaan bagi manusia, sehingga satu – satunya hal yang bisa manusia lakukan adalah menerima penderitaan tersebut, dan menjadi solider dengan sesama manusia, apapun kejahatan yang pernah ia lakukan. Bukankah hal itu dilakukan Yesus dengan sempurna? Ia tidak bersalah, namun menerima penderitaan. Ia menjadi satu dengan Manusia secara penuh, bukan karena Inkarnasi semata, tetapi juga karena Ia menderita. Ia memilih untuk mati menderita sebagai ‘samsak’ orang – orang bersalah. Karena itu, Ia adalah Korban yang Solider dengan penderitaan manusia yang adalah korban tindakannya sendiri. Ia berpihak pada Manusia yang tidak berpihak padanya. Ia berpihak, bukan karena kita menderita, melainkan Ia menderita karena Ia memilih untuk berpihak. Itulah panggilan Yesus bagi seluruh umat manusia. Tanggung dulu hidup orang yang di – PHK, angkut belanjaan ibu yang pulang dari pasar, ngobrol bersama abang Gojek yang minum starling, dan dengarkanlah temanmu yang kebingungan dan sedang menangis!

Kevin Reiner Hidayat

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Albert Camus, Terj. Stuart Gilbert, The Plague (New York: A. A. Knopf, 1948).

Rene Descartes, terj. Michael Moriarty, Meditations on First Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008).

Sumber Daring

Bisnis.com, “Indonesia Setop Ekspor Minyak Goreng dan CPO, Celios: Negara Pesaing Happy”, https://ekonomi.bisnis.com/read/20220423/257/1526192/indonesia-setop-ekspor-minyak-goreng-dan-cpo-celios-negara-pesaing-happy, 23 April 2022, 06.57 WIB. 

Kompas.com, “Daftar Harga Minyak Goreng Hari Ini: dari Sania, Bimoli, hingga Filma”  https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/19/140100965/daftar-harga-minyak-goreng-hari-ini–dari-sania-bimoli-hingga-filma?page=all, 19/03/2022, 14:01 WIB.

Kompas.id, “Ibu 41 Tahun Meninggal, Diduga Demi Antre Minyak Goreng” https://www.kompas.id/baca/berita-video/2022/03/12/ibu-41-tahun-meninggal-diduga-demi-antre-minyak-goreng, 13 Maret 2022.

———–, “Minyak Goreng Langka, PDIP Demo Memasak Tanpa Minyak Goreng”, https://www.kompas.id/baca/berita-video/2022/03/28/minyak-goreng-langka-pdip-demo-memasak-tanpa-minyak-goreng, 28 Maret 2022.

Media Indonesia, “Pemerintah Larang Ekspor CPO, DPR: Harga Sawit Anjlok, Petani Jadi Serba Salah” https://mediaindonesia.com/ekonomi/488631/pemerintah-larang-ekspor-cpo-dpr-harga-sawit-anjlok-petani-jadi-serba-salah, Selasa 26 April 2022, 07:31 WIB.

Suara.com, “​​Dirjen Kemendag Tersangka Kasus Minyak Goreng, Celios: Kejahatan Terstruktur“ https://www.suara.com/bisnis/2022/04/19/175403/dirjen-kemendag-tersangka-kasus-minyak-goreng-celios-kejahatan-terstruktur, Selasa, 19 April 2022, 17:54 WIB.

Tirto, “Dugaan Kartel Migor: Nurbaya Disekap, Diintimidasi & Dianiaya” https://tirto.id/dugaan-kartel-migor-nurbaya-disekap-diintimidasi-dianiaya-gq8W, Kamis, 14 April 2022, 10:00 WIB.

United Nations, “Universal Declaration of Human Rights”, https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights, diakses Rabu, 4 Mei 2022, 21.33.00 WIB.