Terbersit beberapa pertanyaanku berkaitan dengan ‘berbeda’ adalah sebagai berikut:
Pernahkah kalian berada di tengah-tengah orang yang berbeda dengan kalian? Pernahkah kalian menjadi satu-satunya orang yang berbeda di antara banyak orang di sekitar kalian? Satu lagi, pernahkah kalian merasa berbeda di antara banyak orang yang ‘sama’?
Jika iya, maka terima kasih. Terima kasih karena telah bertahan, terima kasih karena tidak mempermasalahkan perbedaan, dan terima kasih karena—entah sadar atau tidak—kamu telah menghargai keberagaman perbedaan itu.
Akhirnya aku bisa lega, karena sekarang aku tahu bahwa ternyata aku tidak sendirian dalam memperjuangkan kata “kedamaian” di tengah keberagaman perbedaan. Mungkin ini terdengar klasik atau terlalu biasa di mata orang-orang yang sudah biasa hidup dalam ke-heterogenitas-an masyarakatnya, atau bisa juga terlalu mengada-ada bagi orang yang merasakan perpecahan karena ke-heterogen-an. Tapi bagiku, berusaha membangun kedamaian pada penduduk negeri yang amat beragam adalah sesuatu yang patut diindahkan, diperhatikan, diajarkan bahkan dialami untuk kemudian dirawat.
Jika ditanya mengapa aku bisa seniat itu dalam mendorong hadirnya perdamaian, jawabannya hanya satu, yaitu untuk menanamkan perasaan kebersamaan meskipun terdapat tembok tak kasat mata yang menghalang. Bukan, bukannya aku ingin menegaskan bahwa terdapat tembok pembatas diantara kita yang berbeda, tetapi aku hanya ingin mengatakan bahwa meskipun tembok itu sebenarnya ada, mari kita tetap berusaha untuk berpegangan tangan. Sederhana saja, seperti sticker keberagaman perbedaan yang bertebaran di platform pencarian dan menggambarkan banyaknya orang dengan baju adat berbeda saling berpegangan tangan, jika manusia saja bisa menciptakan gambar itu untuk mendefinisikan kerukunan, maka sudah dapat dipastikan bahwa kedamaian merupakan sesuatu yang dicita-citakan bukan?
Ya. Perdamaian memang cita-cita bahkan keinginan banyak orang. Tetapi, perdamaian belum tentu menjadi cita-cita dan keinginan dari setiap orang. Pada kenyataannya, masih banyak perpecahan di tengah berbagai bentuk keberagaman perbedaan, dan aku tidak menginginkan hal serupa terjadi, terutama di negeri yang menjadi tanah kelahiranku ini. Maka dari itu kuniatkan dari dalam diri, jika tidak ada yang peduli dengan kedamaian dalam keberagaman perbedaan, maka aku tidak boleh seperti itu. Setidaknya aku harus memulai. Setidaknya aku harus meneguhkan diri untuk terus berusaha mencapai persatuan yang tidak membeda-bedakan, yaitu dengan memulai bertoleransi.
Toleransi atau Toleran secara bahasa kata ini berasal dari bahasa latin tolerare yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu (perseorangan) baik itu dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi).
Satu kata dengan makna yang teramat dalam. Satu kata yang menggambarkan kerukunan karena telah menghargai keberagaman perbedaan.
Sebenarnya, aku sudah cukup sering merasakan toleransi. Diawali dengan mengikuti Sabang Merauke yang diadakan oleh Organisasi Yayasan Seribu Anak Bangsa Indonesia adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi. Dalam program ini, anak-anak dari seluruh Indonesia akan tinggal dan menjadi anggota keluarga yang berbeda agama, suku dan ras serta berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda. Setelah kembali ke daerahnya, mereka akan menjadi duta perdamaian di daerahnya masing-masing
Namun satu hari itu cukup berbeda. Jika biasanya aku hanya akan merasakan toleransi karena tinggal serumah dengan saudaraku yang memiliki agama Katolik dan Hindu, maka hari itu aku bertemu dengan banyak orang baru yang memiliki agama serupa, yaitu Katolik. Tidak tanggung-tanggung, hari itu Mama Ochi (orang tua Sabang Merauke) tidak hanya mengajakku untuk bertemu dengan beberapa orang yang seagama dengannya, tetapi langsung dengan komunitasnya, yaitu komunitas Tanda Salib. Sejujurnya aku tidak begitu tahu dengan komunitas ini, tetapi yang pasti komunitas ini adalah komunitas keagamaan yang dengan tulus ingin memberikan pelayanan. Sungguh mulia bukan?
Hari itu hari Minggu. Aku Bersama Mama Ochi dan Lala (saudara Sabang Merauke) — keluarga angkatku, ditambah Putri, Kak Yeye, serta Kak Clarissa pergi ke Cibubur untuk menghadiri salah satu kegiatan dari komunitas Tanda Salib. Disana, aku bertemu banyak sekali orang baru, seperti Kak Riant yang mirip sekali dengan Fiersa Besari, Kak Andre yang ternyata dosen psikologi, dan masih banyak lagi. Pada awalnya aku memang sedikit cemas, karena bagaimana tidak, aku yang notabene-nya muslim tiba-tiba diajak ikut ke acara komunitas katolik yang jelas dari cara berdoanya saja sudah berbeda. Tapi ternyata kecemasanku tidak bertahan lama, ketika hadir dan disambut dengan senyum ramah orang-orang yang berada disana, aku sadar, ternyata sudah semakin banyak orang yang mengamalkan toleransi, dan aku kembali mendapat pengalaman toleransi baru.
Tidak hanya itu, ternyata orang-orang yang menjadi bagian dari komunitas Tanda Salib juga sangat baik dengan aku yang pada saat itu hanya menjadi tamu. Tidak sedikit yang mengajakku mengobrol, bertanya ini-itu, dan bahkan ada yang menawarkan bantuan dengan mengatakan jika aku membutuhkan buku atau literatur psikologi maka aku boleh langsung ke rumahnya saja. Aku tidak tahu orang yang mengatakan ini ingat atau tidak dengan perkataannya, tapi yang pasti perkataan sederhana itu sangat berhasil menimbulkan perasaan senang di diriku. Perasaan senang karena diterima, perasaan senang karena dihargai, dan perasaan senang karena tidak dibedakan menjadi tiga hal utama yang sangat aku syukuri hari itu.
Untuk Mama Ochi, terima kasih karena telah mengajakku ke pertemuan tersebut. Jika bukan karena pertemuan itu, mungkin aku tidak akan tahu bahwa sudah banyak orang yang sudah menormalisasikan perbedaan. Jika bukan karena pertemuan itu, mungkin aku tidak akan merasakan pengalaman toleransi baru yang sangat melegakan hati, dan jika bukan karena pertemuan itu, mungkin aku belum tahu bahwa ternyata ice breaking, energizer, dan games itu berbeda.
Untuk semua orang baik yang di pertemuan itu bertemu denganku, terima kasih karena sudah bertoleransi denganku. Terima kasih juga sudah mengijinkanku membaca doa secara Islam selain doa secara Katolik saat awal acara dimulai. Karena kalian aku yakin, bahwa kedamaian, ketentraman, dan kerukuranan dalam keberagaman perbedaan bukan hanya sekedar angan, tetapi juga realitas yang akan kita gapai di masa depan. Karena, percaya toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan juga dirawat.
Kepahiang, 01 April 2022, Alifah Intania