
(Jika tulisan dirasa terlalu panjang, pembaca bisa lompat ke inti tulisan melalui tautan ini.)
Menurut seorang filsuf, Tuhan telah mati, dan kita telah membunuhnya1. Dosen dan pembimbing akademik penulis, A. Setyo Wibowo, seorang Jesuit ahli filsafat Yunani, menelaah Nietzsche sebagai bacaan yang menyegarkan di tengah menulis disertasi penuh kekeringan atas filsafat Plato2 (Setyo Wibowo menyebutnya Platon) yang setidaknya namanya pasti pernah didengar oleh setiap mahasiswa STF Driyarkara (syukur – syukur kalau tulisannya dibaca). Beliau menuangkan beberapa pokok pemikirannya mengenai Nietzsche di beberapa buku, antara lain: Para Pembunuh Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), Gaya Filsafat Nietzsche (Yogyakarta: Kanisius, 2017), dan sebuah buku yang ia tulis bersama Akhmad Santosa, Nietzsche Sudah Mati (Yogyakarta: Kanisius, 2009). Berdasarkan buku Gaya Filsafat Nietzsche, bab V, dari beberapa pokok yang disampaikan, penulis mengutarakan dan mengembangkan pemikiran.
Nietzsche yang Mengkritik Para Ateis
Nietzsche bukan sembarang omong. Ia tidak secara angkuh mengatakan bahwa Tuhan telah mati, dan ia membunuhnya. Ia mengatakan, kita membunuhnya. Orang Eropa abad ke – 19, jaman Nietzsche hidup, sudah banyak yang mulai memegang ateisme sebagai prinsip hidup. Penulis akan menjelaskan apa maksudnya kata – kata tersebut. Beberapa filsuf, seperti Arthur Schopenhauer dan Ludwig Feuerbach, pendahulu Nietzsche, sudah duluan menyatakannya, dan memberi argumentasi – argumentasi filosofis untuk ateisme. Cukuplah dijelaskan teori Feuerbach saja. Misalnya, meminjam penjelasan Frans Magnis-Suseno3, Feuerbach menyatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi dari manusia itu sendiri. Manusia punya hal – hal luhur di dalam dirinya. Hal – hal luhur ini bisa jadi kebaikan, kekuasaan, atau kemurahan hati. Hal – hal luhur ini dirasa terlalu luhur untuk disebut miliknya. Karena dinilai terlalu luhur, ia memisahkan identitas dirinya dari hal luhur ini. Hal luhur ini kemudian ia sebut Tuhan. Berdasarkan logika ini, Feuerbach menolak filsafat Hegel yang ia baca seperti ini: Roh Tuhan (Roh Absolut, kata Hegel) mencipta manusia. Manusia ini diciptakan dengan akal budi dan suara hati. Karena punya akal budi dan suara hati, manusia bisa mengetahui dan memilih apa yang baik dan benar. Ternyata oh ternyata, pilihan ini bisa terjadi karena Roh Tuhan menggerakkan manusia. Jadi, manusia tidak lebih dari wayang, tidak lebih dari ide Roh Absolut semata. Lantas, untuk apa akal dan suara hati manusia? Filsafat Hegel pun ia tolak sebagai teologi. Untuk menggeser teologi itu, ia berargumen seperti yang telah penulis jelaskan. Nah, persis orang – orang seperti Feuerbach ini yang telah membunuh Tuhan. Orang seperti Hegel mencoba untuk memperlambat gerak pada ateisme itu, tetapi sia – sia. Nietzsche oke – oke saja dengan ateis – ateis ini, tetapi ia sadar bahwa orang ateis ini tidak sadar akan sebuah konteks kemunculan diri mereka, yang akan mereka sadari kelak. Konteks ini adalah kekeran kritik Nietzsche.
Nietzsche yang Menelaah Eropa
Target Nietzsche menjadi jelas. Para pembunuh Tuhan adalah orang ateis. Pertanyaan muncul: Kenapa Tuhan dibunuh? Ada sebuah proses panjang, kata Nietzsche. Pada masa Abad Pertengahan Eropa, filsafat, terutama filsafat metafisika Plato, dan agama Kristen dipegang sebagai panduan hidup. Beberapa orang kudus Katolik, seperti Agustinus, Anselmus, dan Thomas Aquinas menulis buku – buku filsafat yang tidak murni filsafat. Plato mereka kaitkan dengan iman Kristen. Agustinus menulis sebuah filsafat berdasarkan Neoplatonisme, dimana Tuhan, sebagai ganti To Hen (yang baik), menciptakan manusia, dimana manusia akan kembali kepada Tuhan (sebagai ganti emanasi dan remanasi, yang lebih mirip aliran dari sesuatu yang baik, bisa dibayangkan seperti air). Tulisan seperti ini menuntut pembacanya menjadi rasional, menerima sesuatu kalau ada logikanya4. Di sisi agama, pengakuan dosa menuntut pengaku untuk memeriksa batin, sehingga sesuatu yang salah bisa dicegah dan diakukan sebelum menjadi perbuatan5. Orang jadi mawas diri, tidak mau berbuat atau berpikir salah. Kesadaran ini berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang selalu menguji hipotesis yang ada. Dua hal ini dinyatakan Setyo Wibowo sebagai warisan platoniko-kristiani.
Dua elemen tadi, sikap rasional dan tidak mau salah, berbalik, dari sesuatu yang memurnikan iman menjadi sesuatu yang menolak iman. Entah karena beban hidup terasa berat, entah karena terlalu cinta kesenangan dan kebebasan, entah karena memang tidak suka orang yang terlalu keras mendidik, anak – anak yang mestinya meneruskan sikap – sikap luhur ini berbalik menggunakan sikap tersebut untuk menghancurkan semua yang telah dibangun selama 2000-an tahun itu. Dalam bahasa anak muda, hal ini bagaikan seorang pemain kartu Uno yang terkena reverse card; dalam peribahasa yang dipelajari sejak SD, “senjata makan tuan”. Menurut Setyo Wibowo, hal ini terjadi karena Tuhan nampak sangat manusiawi, ingin menyelidiki seluk – beluk hati seseorang. Manusia mau Tuhan yang Perkasa, Tuhan yang Mahakuasa, Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, yang membelah Laut Mesir, kalau kata orang jaman sekarang, yang bisa menyelesaikan masalah hidup manusia dan membebaskan dirinya dari jerat kesulitan dan kesusahan. Sikap yang Nietzsche sebut (melalui Setyo Wibowo) Jermanik atau Hindu (karena sikap ini seperti orang yang lelah dengan hidup karena terlalu banyak minum alkohol seperti orang Jerman, atau nasi seperti orang India6) ini yang kemudian membuat generasi selanjutnya tidak tertarik lagi dengan Tuhan seperti yang diperkenalkan oleh generasi sebelumnya. Inilah asal – muasal orang ateis pada jamannya, dan pada jaman Nietzsche orang belum sadar akan hal tersebut. Akibat – akibat yang menyertainya juga besar: Orang kehilangan pegangan.
Nietzsche yang Mengkritik Orang Kristen7
Nietzsche membangun sebuah tesis berkaki empat: Orang Yahudi sebelum pembuangan adalah Yudaisme Ya8, Orang Yahudi pasca pembuangan sebagai Yudaisme Tidak9, Yesus sebagai Kristen Ya, Paulus sebagai Kristen Tidak. Yudaisme Ya adalah Yudaisme yang menjalani hidup mereka dengan yakin (afirmatif), kuat, dan memilih tatanan hierarkis, yang hidup dengan berkat “susu dan madu” melimpah, dan menghadapi kesulitan dengan kuat. Yudaisme Tidak adalah Yudaisme setelah mengalami hidup menjadi budak, menjadi buangan yang tidak memiliki pegangan, yang aturan – aturan askesenya keras dan bertumpuk, yang “sensitif dengan yang namanya dosa”, karena dosa bisa membuat Tuhan menarik berkat yang mereka terima. Yesus adalah Kristen Ya, karena ia menerima segala sesuatu dengan naif dan pemaaf, yang menyatakan bahwa kerajaan Allah sudah ada di sini, dan manusia bisa menerimanya dengan cuma – cuma, entah dia pelacur atau pencuri, serta mengampuni orang – orang tanpa menolak perbuatan keji mereka yang menyalibkan dirinya. Dalam kacamata Nietzsche, Yesus adalah orang naif nan baik semata. Paulus adalah Kristen Tidak, karena ia menambahkan syarat pertobatan, dibaptis lah, moral lah, tobat lah, dihapus dosanya lah, dsb. Demikian bagian utama tesis yang dijabarkan secara singkat.
Tesis di atas memiliki tesis anakan. Dalam Yudaisme dan Kristen Tidak, ada suatu elemen yang sama: Dosa. Manusia harus merasa bersalah sebelum bisa diselamatkan. Nietzsche berargumen bahwa Tuhan adalah kehadiran dalam diri, yang selalu ada apapun keadaan manusia. Paulus yang merupakan keturunan Yudaisme Tidak membuat Injil menjadi sulit; ada dosa, dan karena itu ada syarat – syarat untuk menjadi selamat. Dunia dan nafsu dipandang buruk, Tuhan dipandang baik. Karena pandangan sebelah – sebelah ini, manusia menolak realitas, kemudian dirinya juga ditolak. Tuhan nampak seperti penghukum yang tidak terima kalau orang menghina kemuliaanNya. Kabar Baik menjadi kabar buruk. Kegembiraan telah menjadi askese berwajah muram. Bagi orang kuat seperti orang Yunani sebelum Sokrates, ini khas pemikiran orang lemah, orang budak, yang mengiba meminta belas kasih dari majikannya yang marah karena tangan hambanya mengotori baju putihnya.
Nietzsche yang Mengkritik Kebutuhan untuk Percaya
Jelas maksud Nietzsche: Orang Kristen berpegang pada Paulus agar mereka mendapat jaminan keselamatan yang sebenarnya bisa dinikmati tanpa semua proses demikian. Demikian pula orang ateis: Mereka juga membutuhkan pegangan. Nietzsche paham betul psikologi orang yang berargumen. Seorang Frater berargumen ini dan itu soal Tuhan, tapi bisa jadi ia berargumen demikian karena ia mau lulus S1 dan butuh pegangan untuk menjadi guru agama. Seorang politikus berkata benar, bisa jadi karena saat itu saat mendekati pemilu dan butuh pegangan bahwa ia akan menang. Orang memiliki kebutuhan untuk percaya. Dengan membungkus praktek hidup yang sudah ada dan memberi makna religius kepadanya, manusia memiliki pegangan yang bisa mengantarnya untuk terus menjalankan hidup. Di satu sisi, mereka merasa bahwa kecilnya mereka tidak mengancam keberlangsungan hidup, bagai anak singa yang dibeking ibu bapaknya. Di sisi lain, mereka meremehkan urusan hidup dunia yang “dianggap sepi” dan berusaha “melepaskan dirinya dari dunia negatif ini”. Dunia dianggap palsu, pegangan yang muncul dalam bentuk tafsir agama dalam iman dianggap berguna untuk menjalankan kehidupan massa. Pegangan ini bisa berbentuk agama, tapi bisa juga berbentuk ideologi, filsafat, bahkan ateisme. Pegangan ini bisa memberi rasa kuat dan benci di hadapan dunia yang dianggap palsu, sedemikian rupa sehingga orang berani mati untuk menghancurkan dunia, mempertobatkan dunia, apapun itu. Jadi dari kebutuhan untuk percaya, muncul fanatisme.
Kajian Kritis, Apresiasi, dan Tanggapan Seorang Kristen
Nietzsche telah membuat kritik yang secara isi keok10, tetapi secara kedalaman serius. Pertama, jika kita mengkritik isi argumen Nietzsche, kita malah jadi semakin yakin bahwa Nietzsche benar: Semakin kita diserang “iman”nya, fanatismenya, pegangannya, semakin kita berpegang erat pada pegangan tersebut. Kritik atas argumen Nietzsche membuat argumen tersebut makin kuat kredibilitasnya. Secara isi sudah banyak dibantah dan ditemukan usang, tapi secara lain justru menantang kita untuk beriman secara lebih tulus dan murni, bukan demi kenikmatan dan rasa aman – nyaman belaka. Kedua, reduksi Tuhan dalam kebenaran – kebenaran dan pegangan manusiawi mengecewakan manusia yang perlahan menjadi cerdas, sedemikian rupa, sehingga manusia menjadi kecewa dan meninggalkan agama.
Kita orang Katolik boleh berbangga bahwa kita memiliki tradisi iman yang panjang dan kaya. Berbagai perayaan orang kudus menghiasi halaman – halaman almanak Liturgi. Berbagai kisah indah menjelaskan kepahlawanan iman berbagai kaum, dari kedua jenis kelamin, dari berbagai taraf panggilan. Ya, sangat indah. Tetapi kita jangan lupa bahwa ada kasus beberapa bulan lalu, di dalam sebuah lahan dari asrama sekolah Katolik, ditemukan sisa – sisa tubuh anak orang Indian Amerika Utara yang dibunuh11. Hal ini menimbulkan kegeraman para Indian, dan semakin mendorong Indian muda dari berbagai suku untuk kembali memeluk budaya asli kaum mereka12. Kalau mau kasus yang lebih dekat, kasus di negara kita, beberapa romo melecehkan anak – anak perempuan13. Beberapa dari kita yang punya pegangan bisa saja langsung tembak, “Itu fitnah untuk menghancurkan gereja Katolik”, “Bisa saja pengakuan tersebut palsu”, “Anaknya juga mau sendiri”. Persis di situ ketepatan analisis Nietzsche. Orang yang berkata demikian butuh untuk percaya bahwa orang Katolik itu baik – baik semua, serta tidak mungkin ada karakter Yudas rasa Yohanes. Kalau sudah kekeuh di situ, ya sudah, mentok. Orang seperti itu perlu belajar mendengarkan orang lain, melepas keangkuhan. Beberapa yang lain, seperti Paus Yohanes Paulus dan Fransiskus sendiri, mengakui bahwa kasus kotor yang dilakukan oleh orang Katolik seperti itu ada14. Di hadapan penderitaan, solidaritas lebih ampuh dari militansi, kejujuran lebih ampuh dari argumen.
Solidaritas sangat dekat dengan kasih Kristen. Jika kita tidak mengasihi sesama yang lemah, kecil, miskin, dan terpinggirkan, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa “Ketika aku dalam penjara, engkau mengunjungi aku”15? Beberapa orang berpandangan bahwa gereja perlu fokus kepada hidup rohani. Apakah manusia semata rohani? Bukankah Surat Yakobus 2 jelas menyatakan bahwa iman selayaknya diikuti perbuatan? Jelas bahwa hal ini berlaku kepada orang yang punya pegangan. Apa gunanya mengafirmasi seorang miskin bahwa ia akan mendapat makanannya kalau ia bekerja keras, jika kita tidak memberikan apa – apa untuk makan dan bekerja? Apa gunanya menyuapi anak – anak dengan roti Ekaristi, lalu melecehkan mereka, hanya supaya imam itu terhibur dan mendapat semangat untuk melanjutkan hidup yang penuh beban? Kita bisa jadi memiliki pegangan supaya kita tidak khawatir akan hidup diri sendiri, lalu mengajarkannya kepada orang lain! Kita berlaku seperti orang buta yang memimpin orang buta, jika benar demikian.
Kritik penulis kepada Nietzsche hanya satu: Kebenaran yang dipercaya orang akan dipertahankan mati – matian oleh orang yang memegangnya. Orang tersebut butuh percaya agar ia bisa bersemangat untuk hidup sedikit lebih lama. Hal ini tidak berlaku jika apa yang dipegang manusia bukan kebenaran, melainkan TUHAN. Tuhan adalah Hidup, dan Ia bisa memberikan tenaga serta inspirasi bagi orang yang mengasihinya dan berpegang padanya sebanyak yang Tuhan mau. Tuhan bukan abstraksi yang membuat orang menjadi fanatik. Ia melembutkan setiap hati yang menerima Dia dan menjadikan Dia pegangan. Ia menawarkan kehadirannya bagi semua orang dalam rupa Roh Kudus dan Ekaristi. Persis kehadiran Tuhan itulah yang tidak diingat Nietzsche, karena ia telah meninggalkan iman masa mudanya dan diduga telah melakukan dosa, sebuah dugaan yang diterima secara umum16.
Tuhan menciptakan manusia seturut gambar dan rupaNya17. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, Tuhan menjawab rintihannya dengan menjadi manusia. Ketika manusia membunuhNya, ia menjawab dengan pengampunan. Pengampunan ini perlu diikuti dengan terapi seumur hidup, DOA, PUASA dan MATIRAGA, MORAL yang baik, KESALEHAN, apapun yang baik bagi orang yang terus – menerus merasa gelisah dan frustrasi akibat dosanya di masa lalu. Terapi itu sendiri bukan demi memperbaiki kemuliaan Allah, melainkan menjalin relasi yang semakin mantap dengan diri, sesama, dan Tuhan. Ketika seorang muda dididik secara keras, harus rajin doa, puasa, dan sebagainya demi mendapat berkat, ia tahu bahwa ia kekurangan suatu unsur penting: Unsur kerendahan hati. Siapa kita, sampai memperlakukan Tuhan seperti mainan Timezone, yang jika dimainkan dengan benar, akan menganugerahi kita dengan berkat tiket yang bisa ditukar dengan hadiah? Pantas saja iman demikian hilang ketika kesulitan melanda. Beranikah kita mereduksi Tuhan seperti demikian? Atau, beranikah kita berjalan bersama Yesus dengan berbagai salib dan hujatan yang memurnikan jiwa, akibat berani mengasihi di dalam dunia yang sibuk dengan afeksi tanpa makna, sedemikian rupa sehingga ketika kita sampai kepada Tuhan, kita telah mematikan kebutuhan kita akan pegangan?
Kevin Reiner
***
1 Dikutip secara longgar dari ingatan.
2 Plato adalah seorang filsuf Yunani yang terkenal dengan berbagai gagasan, diantaranya tentang ide.
3 Magnis – Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, 66.
4 Pemikiran seperti ini kemudian diterapkan kepada iman, sehingga iman nantinya dianggap tidak rasional dan dibuang sebagai takhayul.
5 Dalam pengakuan di awal misa Katolik, setiap orang yang ikut dalam misa berkata, “Dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian”. Jadi pikiran sekalipun sangat dicermati. Orang sudah waspada sejak di ranah pemikiran. Kewaspadaan ini nanti berbalik, tadinya diarahkan kepada dosa dan ateisme, menjadi diarahkan ke iman.
6 Orang yang gula darahnya cukup tinggi, atau bahkan diabetes, akan mengantuk jika terlalu banyak makan nasi atau alkohol yang memang penuh dengan kandungan karbohidrat dan gula. Tubuh menjadi seperti lelah, mata mengantuk, rasanya ingin cepat tidur. Dalam keadaan seperti itu, orang yang sadar akan kelemahannya biasanya agak berhati – hati kalau berbicara, karena justru dalam keadaan mabuk atau ngantuk, omongannya akan melantur, kalau ia menyetir ia akan oleng. Bukan demikian yang diimpikan Nietzsche. Dalam bayangan penulis, Ia mau bukan orang mabuk yang ada, tetapi orang kuat yang rajin berlatih dan bertanding, yang makannya tidak sembarangan, yang yakin dengan setiap langkahnya.
7 Setyo Wibowo memberi catatan terhadap teks Nietzsche: Eksegese Nietzsche adalah eksegese usang, hanya produk zaman yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Agama Kristen tidak dapat lagi dipandang demikian; pandangan demikian tidak akurat dan tidak aktual. Meskipun demikian, Nietzsche menunjukkan cita rasa tinggi: Ia tidak suka dengan sebuah kebenaran, ia semakin yakin bahwa dirinya yang benar, ia tolak kebenaran itu. Ini soal “kuat atau lemah, terserak atau utuh, pengecut atau berani, bercita rasa tinggi atau rendah”.
8 Dalam pemikiran Nietzsche, Ya bisa dikatakan sebagai penerimaan kenyataan sebagaimana adanya. Kehendak yang kuat, cita rasa tinggi, yang tidak remuk terserak. Orang Yahudi sebelum pembuangan memilih Raja alih – alih Tuhan, memilih kehormatan di atas takluk di bawah rasa bersalah. Mungkin bisa dilihat kisah seorang Saul yang memilih bunuh diri dalam peperangan daripada dibunuh musuh.
9 Orang Tidak adalah kebalikan orang Ya. Merasa terserak dan merasa berdosa, orang membutuhkan pegangan untuk jaminan hidup. Mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi dosa adalah bentuk dari mentalitas yang Nietzsche sebut mentalitas budak ini.
10 Setyo Wibowo mengacu pada Louis Leahy, yang menemukan sumber – sumber kritik Nietzsche dan menemukan ketidakakuratan teori yang ia bawakan. Pertama, Nietzsche mendasarkan argumennya pada teori siklis bahwa semua akan berulang. Sampai saat ini, tidak ada bukti mengenai hal demikian. Kedua, kedaulatan Tuhan tetap ada tanpa adanya penciptaan. Tuhan tidak butuh apapun untuk ada, dan ketiadaan ciptaan justru menegaskan itu. Ketiga, ada unsur filsafat nominalisme Ockham yang menjadi dasar bagi Protestantisme Lutheran ayahnya untuk mengkritik agama Kristen. Memang secara isi sangat mantap, tetapi tidak lolos dari kritik Nietzsche terhadap pegangan, karena masih bisa ditanyakan, mengapa Leahy berusaha mati – matian membela agamanya?
12 Sebagai contoh, ada sebuah video untuk menunjukkan seperti apa gerakan kembali ke akar budaya itu. https://www.tiktok.com/@dance_sing_warrior/video/6980370157591973126?is_copy_url=1&is_from_webapp=v1.
13 https://tirto.id/korban-pelecehan-seksual-bersuara-gereja-katolik-mengkhianati-saya-fXAZ
15 Bdk. Mat 25:36.
16 Bdk. A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, 38, catatan kaki 12, “pada saat jalan – jalan ke Köln Nietzsche sempat mampir ke rumah pelacuran.” Dugaan ini diperkuat dengan penyakit Sifilis yang diderita Nietzsche.
17 Bdk. Kej 1:26-27.