
Suatu hari, saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ia sedang berada dalam kesulitan. Sepanjang saya mendengar kata – katanya, perut saya terasa melilit dan diperas – peras. Entah mengapa, saya tergerak untuk membantunya. Saya mengambil sebuah resiko: Bagaimana kalau saya ditipu mentah – mentah? Bagaimana kalau ia mengarang sebuah cerita yang spesifik mau mempengaruhi rasa belas kasihan saya? Itulah resiko yang ada, dan dengan kemampuan yang ada saya menolong teman saya.
Dalam filsafat Cina yang diajarkan oleh Mengzi (Mencius), murid Kongzi (Confusius), perjalanan menjadi seorang yang baik dimulai dengan menyadari bahwa di dalam hati setiap orang, terdapat sebuah hadiah yang merupakan pemberian Surga (Tian). Surga yang dimaksud bukanlah tempat fisik, melainkan sebuah konsep peninggalan dinasti Zhou yang hendak menyatukan roh – roh alam dengan roh – roh leluhur bangsa Cina. Meski demikian, Mengzi mengembangkan konsep Surga menjadi sebuah surga yang kadang berlaku sebagai sebuah pribadi, kadang berlaku sebagai suatu penentu nasib.
Apapun atau siapapun surga itu, ia memberikan sebuah sifat baik yang luhur dalam diri manusia (Xing), di samping sifat rendah yang setara dengan binatang. Jika sifat luhur ini disadari dan dibersihkan dari segala penghalang yang mengganggu pergerakannya, maka seorang manusia akan memiliki sebuah hati yang tidak tega melihat orang lain menderita. Hati yang tidak tega ini, bersama dengan sifat tulus hati, yang berlawanan dengan sikap tidak tulus (Zheng), akan memunculkan empati, rasa malu dan rasa tidak suka (dalam hal berlaku buruk), kesopanan dan suka mengalah, dan tahu membedakan apa yang baik dan benar dari yang salah dan buruk. Empat hal tersebut memunculkan Tao, atau keadilan berwujud empat bibit, dan empat bibit keadilan itu berbuah menjadi empat keutamaan: Kasih, Kelurusan, Berbuat Benar, dan Kebijaksanaan. Jika seorang manusia memiliki empat hal tersebut, dan terus mengamalkannya, ia akan menjadi “Warga Surga” (Tianshi) memiliki sebuah kekuatan di dalam dirinya (Zhi) yang muncul setiap kali ia mengamalkannya, sedemikian rupa sehingga ia menjadi kuat dan tidak tergoyahkan dalam berbuat baik dan benar, apapun tantangan dan rintangannya, sekalipun kalau ia dikecewakan.
Dalam pandangan Mengzi, semua sifat di atas merupakan bagian dari hati (Xin). Dalam iman Kristiani, kita memperhatikan hati di samping akal budi. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Ams 4:23). Meskipun demikian, dalam kitab yang sama tertulis, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.” (Ams 16:9). Otoritas iman Katolik ada di atas suara hati dan membentuknya.
Usaha orang bijaksana di masa lalu sungguh mengagumkan. Tanpa pengenalan akan Allah yang Esa, mereka berusaha menemukan sumber kebaikan yang ada di dalam hati mereka, pemberian Allah yang sama, sehingga orang bisa hidup dengan baik. Etika yang sama mengantarku kepada rasa tidak menyesal telah menolong temanku, meski memang sekarang dia kurang ajar. Justru saya bangga telah mengikuti rasa belas kasihan tersebut, meski pengamalannya tidak sempurna. Memang dia mengecewakan, tapi setidaknya saya berbuat seturut suara hati yang benar. Saya malah tergerak untuk mengantar dia kepada kebijaksanaan yang sama. Saya yakin, dengan usaha yang tepat dan dengan pertolongan Roh Kudus, teman saya akan menjadi seorang manusia yang baik dan kudus.
Kevin Reiner
Daftar Pustaka:
Fung Yulan. A History of Chinese Philosophy. Terjemahan Derk Bodde. London: George Allen & Unwin Ltd, 1952.