
Kata “healing” terdengar cukup populer dikalangan milenial akhir-akhir ini. Healing sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti “sembuh”. Kata sembuh di sini bukan hanya saja sembuh dari penyakit yang terlihat atau terdiagnosa, tapi sembuh di sini diartikan dengan sembuh dari penyakit hati atau luka batin.
Sayangnya, semakin tenar, tren healing ini malah mengalami pergeseran makna. Healing saat ini malah diartikan sebagai sebuah destinasi dengan pergi liburan, atau melarikan diri dari rutinitas sehari-hari. Padahal hemat saya, makna healing jauh lebih dalam, dan jauh lebih melelahkan. Ya, melelahkan. Karena sama seperti penyakit medis yang butuh diagnosa supaya pengobatannya tepat, luka batin pun juga butuh diakui. Salah satu syarat untuk sembuh adalah dengan sadar bahwa ada luka. Berbeda dengan luka di tubuh yang mudah dengan kasat mata dilihat, luka batin ini justru tidak bisa dilihat namun hanya bisa dirasakan. Dan letaknya ada di dalam diri kita. Jadi, mau lari sejauh apapun, luka ini masih ada di dalam diri.
Sebagai umat Katolik, tanpa kita sadari sebenarnya salah satu langkah untuk healing telah diajarkan kepada kita, yakni melalui Sakramen Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa seringkali diartikan dengan kesalahan kita terhadap orang lain, tapi jauh lebih dari itu, pengakuan dosa menurut saya adalah salah satu prasarana yang Gereja berikan kepada umatnya untuk merefleksikan kesalahan-kesalahan yang justru seringkali kita lakukan terhadap diri sendiri.
Dilansir dari kaj.or.id, setidaknya ada lima langkah pertobatan:
- Menyadari dan mengakui dosa
- Menyesali dosa
- Berniat untuk tidak berbuat dosa lagi
- Mohon ampun
- Mau menghidupi cara hidup yang baru.
Bayangkan kelima langkah diatas kita terapkan sebagai cara kita untuk healing. Masihkah kita memaknai healing ini hanya sebagai sebuah destinasi? Karena healing yang sesungguhnya adalah sebuah proses. Proses mengakui luka, menerima kekurangan diri, memaafkan diri dan orang lain dan merasakan Tuhan.
Anna Mitzi