Di Taman Anjing
Di sebuah hari Minggu, aku mengantar dan pergi bersama adik dan ayahku ke sebuah kafe. Ayahku sudah lama tidak jalan – jalan. Ia terlalu lama menjaga restoran di daerah Puncak. Kalau adikku, sih, memang suka jalan – jalan, mumpung pandemi sedang tidak tinggi – tinggi amat, meski sudah memasuki masa puncak varian BA4 dan BA5. Singkat cerita, kami sampai di daerah Kemang, memesan makanan, dan melepas anjing kami di sebuah taman buatan.
Hari itu menjadi salah satu hari dimana aku menjauh dari doa – doa yang kaku – berlutut, memejamkan mata, merapal rumus – dan berdoa sambil melihat pohon ditiup angin, anjing – anjing yang baru saling kenal mengejar dan mengendus satu sama lain tanpa berani menggigit, berbaring di bawah teduhnya pohon, makan pizza dari kafe barusan. Doanya tetap rumusan 77 Bapa Kami, tetapi bagiku ini sebuah pengalaman baru. Di saat itu, aku mengalami sebuah momen yang menghentak.
Pertama, pohon – pohon palem yang menjulang tinggi nampak raksasa ketika aku berbaring di bawah sebuah pohon bercabang (bukan palem). Aku tersentak dan bertanya, “mungkinkah menghadap Tuhan lebih ngeri dari pengalaman ini?” Sejenak kemudian, anjing – anjing di taman tiba – tiba menyingkapkan keajaibannya sebagai ciptaan Tuhan yang kreatif. Kemudian, pemandangan menjadi biasa saja, tidak berkesan. Di saat itu, aku terkesan dengan diriku sendiri sebagai manusia. Aku menerima diriku sebagai ciptaan Tuhan yang terkasih.
Antara Sartre dan Doa
Dalam perjalanan menuju Gereja Theresia untuk misa malam, aku tidak memikirkan hal tersebut dengan serius. Esoknya, setelah membaca tulisan Om Sartre1, aku mengerti apa yang aku alami. Om Sartre menyebut sebuah perilaku yang ia beri nama “Bad Faith”. Pikiran dan perbuatannya difokuskan menjadi satu secara psikologis, namun ia menjadikannya sebagai topeng. Karena ia sadar akan pikiran dan perbuatannya, ia mampu membuat seolah – olah ia berpikir dan berlaku seperti yang orang inginkan. Seperti pemain teater, ia berada di tengah penonton, tetapi tidak bersama penonton. Di tengah penonton – penonton tersebut, orang bermain peran. Peran apa? Apapun yang ia perlu mainkan. Hal seperti itu kadang juga aku mainkan.
Berlutut di depan Sakramen Mahakudus, mengusahakan agar posisiku ikut berlutut seperti yang dituntut oleh kebiasaan menggereja, namun aku menjadi tidak fokus dengan sakramen di hadapanku. Berdoa rosario, namun selagi kata – kata mengalir, pikiran ikut mengalir ke arah yang berbeda, karena berdoa dengan terpaksa. Mungkin, kamu pernah melakukannya juga? Makan dengan pacar, tetapi pikiran tertuju pada dompetmu, berharap pacar memilih makanan yang murah? Bergaul dengan orang – orang tertentu, namun merasa terancam, sehingga menjaga supaya tidak ada tingkah yang akan dijadikan gosip? Ya, semua manusia pembohong (Bdk. Roma 3:4).
Doa yang Apa Adanya
Lantas, adakah jalan keluar? Om Sartre memberi kunci. Aku, yang adalah sebuah pribadi, tidak dapat dikunci di posisi, gestur, atau apapun yang bersifat fisik. Dengan kata lain, aku jangan sampai sekedar bergerak, berpose, atau melakukan apapun, semata karena aku harus tampil demikian. Demikian juga dalam doa. Bukan pengulangan sempurna nan tidak bercela, suara merdu mirip malaikat, atau penampakkan apapun yang ia inginkan. Justru lafal berulang, posisi berlutut, berdiri, atau apapun, harus muncul dari diri yang cinta pada Allah, sehingga diri tersebut mengulang apa yang ia doakan berkali – kali; karena suka! Ketika kita jujur pada diri sendiri, sesama, dan Tuhan, mungkin… saat itulah Tuhan tersenyum, karena Allah adalah benar, dan kita menjadi anaknya.
Kevin Reiner Hidayat
1 Bdk. Sartre, Jean-Paul. Jean-Paul Sartre: Basic Writings, diedit oleh Stephen Priest. London: Routledge, 2001, 204-220.