Negara yang Penuh Komentator
Akhir – akhir ini, beberapa dari SobaTanda sudah hafal dengan istilah “Citayam Fashion Week” (CFW), yaitu sebuah julukan yang agak merendahkan kepada pemuda golongan kelas menengah ke bawah yang berasal dari daerah Citayam dan sekitarnya. Banyak orang memberi komentar. Ini bisa SobaTanda lihat sendiri di kolom komentar media sosial favorit masing – masing. Pemerintah pun sampai turun tangan menangani kerumunan dan fashion show dadakan yang muncul di setiap sore dan bertahan sampai malam hari. Mengenai komentar di media sosial, aku menemukan satu komentar yang pendeknya menyatakan bahwa mereka “alay”. Ada juga komentar – komentar asbun lainnya. Aku mau mengajak diri sendiri dan SobaTanda untuk berkaca dan memeriksa diri, jangan – jangan kita telah banyak asal omong.
Psikologi Sikap
Judul yang kuberi di awal buku menandakan bahwa orang tertentu sedang mencari jadi dirinya. Permasalahannya, apakah anak Citayam yang berlaku demikian? Dalam buku Social Psychology yang ditulis oleh S.E. Taylor, sikap adalah:
“Sebuah keadaan mental dan saraf yang siap, teratur karena pengalaman, mengerahkan pengaruh yang mengarahkan atau menggerakkan respon seseorang kepada objek dan situasi yang berkenaan dengannya.”
Sederhananya, sikap adalah kesiapan lahir batin seseorang. Kesiapan tersebut dibentuk oleh pengalaman tertentu dalam menghadapi sebuah keadaan tertentu. Sikap juga menentukan tanggapan orang terkait dengan keadaan tersebut. Ada tiga unsur dalam sikap: pikiran, perasaan, dan putusan.
- Pikiran dalam sikap belum tentu benar, tetapi juga belum tentu salah.
- Perasaan menentukan rasa suka atau tidak suka. Rasa suka tidak suka ini bisa berubah kapan saja.
- Putusan pertama yang dibuat dalam menghadapi sebuah keadaan akan menentukan pikiran, perasaan, dan putusan di masa mendatang, dengan kata lain membentuk kebiasaan.
Bedah Kasus Imajiner
Sikap yang demikian menjadi alat yang tajam untuk menyorot masalah komentar tentang CFW. Misalnya, ada seorang pemuda yang berkata, “CFW isinya anak alay semua”. Mari kita bedah dengan psikologi!
- Mungkin orang tersebut melihat muka kumal yang sama dengan muka kumal anak – anak yang dianggap norak pada masa 2000 – an, maka terjadilah asosiasi, pengkaitan dua hal yang belum tentu terkait.
- Kata – kata tersebut menguatkan orang yang memiliki sentimen yang sama, sekaligus memicu orang lain untuk menghukum anak – anak tersebut secara sosial tanpa alasan yang jelas.
- Perasaan tidak suka yang tadinya diarahkan ke anak alay sekarang diarahkan kepada anak CFW. Inilah transfer afek.
- Walau mereka jelas dua kelompok yang berbeda, mereka telah menentukan sikap, sehingga segala ketidakcocokan akan dicocok-cocokkan, dan dianggap masuk akal, sekalipun memang tidak masuk akal.
- Para hakim dadakan ini pun mengekor para komentator. Jika komentator berkata menyetujui CFW, mereka ikut setuju dengan komentator dan menerima anak CFW. Begitu komentar berubah menjadi negatif, mereka tetap setuju dengan komentator dan menolak anak CFW.
Demikian, kejelekan atau keindahan yang nampak jelas – jelas benar dan bisa dilihat di depan mata ternyata dipengaruhi oleh kata – kata segelintir orang! Masih mau melangkah lebih lanjut? Saya layani. Teori persepsi diri menyatakan bahwa orang menentukan jati diri dengan melihat perilaku diri pada masa lalu, dan mengidentifikasi diri dengan perilaku tersebut. Apakah anak CFW begitu? Mungkin. Tetapi yang jelas, kita melakukan hal yang sama dengan berkomentar di media sosial! Kita memberi “hati” (like) di komentar yang merendahkan, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa diri kita memang lebih benar dari orang yang dihujat. Hasutan di komentar itu pun lebih didengar daripada nasihat orang tua dan guru.
Mengapa orang mau mendengar hasutan anak yang lebih gaul? Sederhananya, karena mereka lebih gaul. Mengapa mereka dianggap lebih gaul?
- Karena mereka dipercaya orang terlebih dahulu sebelum mereka berkata – kata. Hal ini bisa terlihat dari, misalnya, jumlah like.
- Karena mereka dianggap lebih berpengalaman dan ahli dalam bergaul. Hal ini bisa terlihat dari, misalnya, jumlah follower.
- Karena, misalnya, di video mereka, mereka dianggap lebih netral dan lebih dapat dipercaya, mungkin suaranya enak didengar, tidak seperti orang lagi demo.
- Karena mereka lebih disukai oleh pendengar, entah ganteng atau cantik.
- Karena mereka bergaul dengan orang – orang yang juga gaul (circle).
Jadi, mereka didengar orang karena orang sudah mengalami persuasi lebih dulu terhadap mereka. Adilkah? Tidak selalu. Bisakah kita protes? Kemungkinan tidak akan didengar, kecuali ada orang yang lebih dipercaya dan didengar oleh kebanyakan orang. Lantas, apa yang kita harus lakukan? Mari kita berfilsafat (alias fafifu wasweswos)!
Konsep Diri Orang Indonesia vs. Konsep Pergaulan Masa Kini
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia di abad ke-16, orang Indonesia mulai mengenal konsep diri atau individu. Manusia yang dianggap kekal dikontraskan dengan dunia, yaitu segala sesuatu yang bersifat sementara dan akan hancur pada waktunya. Tujuan manusia adalah mencapai surga. Karena hidup kekal mulai direnungkan, orang pada jaman itu juga mulai berpikir tentang kematian yang datang menjemput. Orang Indonesia yang tadinya gemar pesta dan suka menampilkan harta melimpah pun menjauhi pesta pora dan kenikmatan yang berlebihan, berpakaian sopan dan sederhana, serta mengadakan puasa.
Kebiasaan baik ini bisa kita bandingkan dengan pergaulan virtual masa kini. Kita mencari diri, bukan dengan menjadi sadar akan kematian, melainkan dengan mengonsumsi media sosial tanpa henti, tanpa sadar tindakan, tanpa berpikir sejenak. Aku pun pernah terpengaruh dengan sikap pribadi orang lain. Nyaris saja aku sepakat dengan kata – kata temanku yang menyesatkan soal seorang teman, hanya karena aku butuh sesuatu untuk dikatakan, dan bukan karena ada sesuatu yang hendak dikatakan. Untungnya, aku membatalkan sikap itu.
Kita tidak mabuk dengan alkohol, melainkan dengan pujian. Kita tidak menelanjangi diri, namun melakukannya di depan gadget kita masing – masing. Kita tidak memukul, namun beda lagi di kolom komentar. Kita tidak berlaku boros, di luar soal kuota internet. Kita tidak membunuh, tetapi tanpa mengetahui cukup informasi, kita menghakimi mereka, entah soal ekonomi, sosial, moral, psikologis, dll. Kenyataannya, jika kita berkata bahwa anak Citayam memakai baju bergaya fashion yang dianggap alay, bukankah kita sendiri sedang krisis identitas? Bukankah kita sedang membentuk sikap pribadi yang akan kita sabung di tengah jaringan demi “like dan subscribe”?
Waduh, kita bisa berbuat apa untuk memperbaikinya? Kita bisa melakukan puasa gadget. Atau, puasa media sosial. Atau, menikmati saat hening sejenak. Atau, kita taruh gadget, atau setidaknya ego kita, di rumah, mari jumpai anak – anak Citayam di Dukuh Atas. Aku tantang SobaTanda, jumpai mereka! Di sana, kita bisa mengenal satu sama lain tanpa menghakimi.
Yuk, Bergerak!
SobaTanda, demikian perjalanan intelektual kita hari ini. Terlepas dari agama kita, semua agama dan kepercayaan di Indonesia sepakat bahwa hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan merundung kelompok masyarakat tertentu. Sikap pribadi tidak dapat dijadikan sesuatu yang disepakati orang banyak. Leluhur kita telah mewariskan konsep yang berharga bagi kita di masa kini. Kita perlu mengurangi asik mengobrol ngalor ngidul di media sosial dan terjun ke lapangan, berjumpa dengan orang – orang yang nyata. Bagaimana dengan kita? Ayo, kita kenali diri sebelum kita menilai orang lain!
***
DAFTAR PUSTAKA
Lombard, Denys, terj. Winarsih Partaningrat, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), 227-237.
Taylor, Shelley E; Peplau, Letitia Anne; Sears, David O. Social Psychology. Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall, 2000, 133-138.