Max Stirner
SobaTanda, pernah gak sih, kalian merasa bahwa kalian dipandang tidak sesuai dengan persepsi kalian sendiri terhadap diri kalian? Atau, teman kalian? Atau, Tuhan? Biasanya yang terakhir ini kejadian kalau Sobat punya teman ateis yang umur ateismenya masih cilik. “Wah, fitnah!” kata kita di dalam hati. Eh, pas kita balas, kok makin aneh ya rasanya? Kayaknya, semakin kita membantah, semakin kita kelihatan salah? Wah, ada yang nggak beres Sobat! Jebakan betmen nih SobaTanda… apa sih rahasianya?
Kalau kita tilik ilmu Psikologi cabang Psikologi Sosial, kita bisa menemukan teori konsistensi sikap, di antaranya keseimbangan sikap (seperti tulisan minggu lalu), bahwa ketika kita menghadapi seseorang dengan sikap pribadi dan bukan dengan belajar, kita cenderung menyeimbangkan sikap kita dengan dua pihak lainnya. Misalnya ada pihak Tuhan, Iblis, dan kita. Jika kita menganggap Tuhan benar, maka ketika ada orang yang berkata Tuhan salah, maka otomatis orang tersebut kita anggap salah. Loh he loh he, kok dia ternyata berhasil membuktikan diri benar? Saya dibuktikan salah? Berarti sikapnya kepada Tuhan benar, dan sikap saya kepada Tuhan salah. Maka sekarang kita memandang sikapnya benar, dan memandang Tuhan salah, sama seperti dia memandang Tuhan salah. Demikian, tanpa belajar yang serius, kita akan mudah digoyahkan oleh orang yang memusuhi Kristus.
Contoh orang demikian adalah Max Stirner (Ini adalah nama pena, seperti Tere Liye). Sedikit biografi: Nama aslinya adalah Johann Caspar Schmidt. Orangtuanya penganut Kristen Protestan aliran Luther. Ia sempat menjadi kepala sekolah anak perempuan di Berlin. Setelah buku “The Ego and Its Own” terbit, ia tidak mendapat kompensasi penjualan yang cukup, sehingga ia mencari penghidupan dari penerjemahan buku – buku, diantaranya buku – buku Adam Smith, ekonom terkenal. Ia meninggal setelah digigit serangga.
The Ego And Its Own
Stirner menulis kira – kira begini: “Kamu telah menyelidiki Allah Tritunggal. Kamu telah mengenal isi hatinya. Maka kamu mengatakan bahwa Tuhan memiliki kepentingan, pekerjaan, yang menjadi prinsip pertama. Perbuatannya sudah nyata. Apakah prinsip pertama yang Tuhan perjuangkan? Apakah ia melayani Kebenaran dan Kasih yang ada di luar dirinya sendiri? Kamu menjawab, memang Kebenaran dan Kasih, tetapi ia sendirilah Kebenaran dan Kasih itu, ia tidak melayani prinsip yang ada di luar dirinya. Kamu berkata kamu terkejut, karena di matamu aku berasumsi menjadikan Tuhan sama seperti manusia, melayani suatu prinsip yang ada di luar dirinya. “Bagaimana mungkin Tuhan memperjuangkan Kebenaran, kalau ia bukan Kebenaran?” Ia hanya mempedulikan prinsip sendiri, tetapi Allah adalah semua dalam semua, maka segala sesuatu adalah prinsipNya! Tetapi kita kecil dan terbuang, maka kita harus memperjuangkan prinsip Tuhan. Maka,” kata Stirner sambil menghujam pisau belati kepada Iman kita, “Tuhan peduli pada miliknya saja, menyibukkan diri dengan diri sendiri, memikirkan diri sendiri, memandang diri sendiri, terkutuklah segala sesuatu yang tidak menyenangkan Tuhan! Ia tidak melayani sesuatu yang lebih tinggi, dan memuaskan diri sendiri. Prinsip pertamanya adalah prinsip egois belaka.”
Tulisan itu ada di pembuka bukunya. Tentu ada banyak implikasi dari pemikiran tersebut. Di bagian pertama, bab pertama, ia menjelaskan bahwa anak – anak adalah realis, orang muda adalah idealis, orang dewasa adalah egois. Penyebabnya adalah roh dan tubuh. Anak – anak dikekang oleh kelemahan dan ancaman badani. Orang muda memberontak dengan pikirannya. Orang dewasa mencintai tubuhnya dengan rohnya. Jadilah seorang egois yang selalu ingin dilayani.
Bab kedua membahas kaitan antara perkembangan tersebut dengan sejarah manusia, sedemikian rupa sehingga sejarah menjadi argumen bagi paham roh sebagai kebohongan. Manusia adalah tubuh dan roh, maka Tuhan seorang manusia haruslah lebih hebat, yaitu roh murni, karena roh seperti itu lain dari kita. Banyak orang butuh ideal sebagai tuhan. Esensi segala sesuatu “menghantui” hidup manusia demikian. Esensi itulah yang membuat manusia menjadi fanatik yang tidak pernah meragukan dasar pemikirannya. Mereka yang memiliki esensi menjadi penguasa, raja; mereka yang tidak memilikinya menjadi hamba, serf, peasant, rakyat jelata. Esensi itu, kebenaran itu, pikiran itu, adalah sebuah puncak kebebasan yang menguasai manusia!
Bab ketiga menyatakan bahwa liberalisme dalam lingkup politik, sosial, dan humanisme adalah roh dalam bentuk berbeda dari jaman raja – raja. Dengan berbagai cara, manusia menolak cawan yang tidak manusiawi dalam bentuk kekuasaan. Hal ini berujung pada manusia yang mencari ide lain, roh lain, sebagai pemimpin mereka, sehingga usaha ini sia – sia.
Di bagian kedua, bab pertama, Stirner berargumen: Jika manusia berpikir akan kebebasan, ia diperbudak oleh pikirannya sendiri. Orang yang mencari dirinya sendiri menemukan dirinya sendiri, bebas dari definisi orang lain. Maka kenallah dirimu sendiri dan segala milikmu, dan mulailah membangun dirimu dari situ, tanpa berpikir, tanpa ide apapun.
Di bab kedua, manusia adalah kebohongan yang terutama. Orang yang didefinisikan sebagai manusia akan diberikan tanggung jawab, dikuasai, dan dikorbankan sebagai manusia; bahkan hak merupakan suatu belenggu. Stirner menegaskan bahwa apa yang orang punya, yang tidak berasal dari roh, adalah kekuatan orang. Orang dapat mengarungi dunia dan menikmatinya. Kenikmatan itulah yang menjadi miliknya, bebas dari interupsi siapapun. Orang dapat mengenali dirinya tanpa ide-ide yang menemukan seribu satu keburukan manusia, dan mendapat seribu satu alasan untuk menguasai manusai. Stirner mengajak orang untuk membangun diri dari apa yang dimiliki, sehingga orang menjadi unik.
Di bab ketiga, Stirner menyimpulkan pemikirannya. Orang jaman dulu mengidealkan yang nyata. Orang jamannya menyatakan yang ideal. Stirner memusatkan pandangannya pada dirinya sendiri, menganggap semua hal itu tidak ada. Jadi, filsafatnya adalah filsafat egoistik, filsafat bodo amat.
Unlock The Key
Penulis merasa bahwa kunci dari seluruh teks itu ada di halaman – halaman depan, sebab jika tidak ada tulisan tersebut, maka seluruh buku itu kehilangan seluruh kekuatannya, bagaikan bangunan dengan batu penjuru yang dicopot. Manusia adalah orang yang dipenjara konsep. Mereka punya segudang hal untuk dikembangkan, kalau saja tidak ada konsep. Manusia perlu mengabaikan konsep – konsep itu dan fokus dengan urusan mengembangkan diri. Coba kita rumuskan kebalikannya. Manusia abai pada konsep dan fokus pada urusan mengembangkan diri. Ada orang yang tidak akan berkembang kalau manusia fokus pada pengembangan diri. Jadi, manusia perlu membebaskan orang dari penjara, membuat orang lumpuh berjalan, mencelikkan mata orang buta, dan hal ini mungkin dengan konsep. “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” (Lukas 7:22)
Jika kita menyambangi Kejadian bab 1 dan 2, kita menemukan kisah penciptaan seluruh dunia dan manusia. Ia menciptakan prinsip – prinsip dari segala sesuatu: Alam semesta, lalu bumi, lalu makhluk hidup, lalu manusia. Lihat, ia menciptakan segala sesuatu secara berurutan. Segala sesuatu disokong oleh sesuatu yang ada sebelumnya. Manusia nggak bisa hidup kalau gak ada alam semesta, matahari, bulan, serta bintang, dan bumi dengan segala isinya, coy! Kemudian, di bab 3, kita akan menemukan Iblis yang memfitnah Tuhan di hadapan Hawa. Hawa membela Tuhan, tetapi sayangnya Iblis lebih cerdik, dan membalik Tuhan yang ada di Kejadian 1 dan 2, yang memperjuangkan manusia sedemikian rupa, menjadi Tuhan yang tidak pantas diperjuangkan manusia sedemikian rupa, sehingga mereka akan melayaniNya hanya dalam ketidaktahuannya. Nah, lo! Ketahuan jurus lu, brey! Ternyata jurusnya sekedar membalik kebenaran!
Godaan Kaum Intelektual: Penderitaan
Kita bisa lihat lidah Stirner begitu licin. Sesuatu yang kita telah tetapkan sebagai benar, ia balik artinya sama sekali. Bukankah Tuhan adalah pribadi yang murah hati? Tetapi ia menjadi pribadi yang kikir dan egois. Demikian pula Hawa dan Iblis. Tuhan yang baik dan jujur terbuka sepenuh mati (karena Tuhan nggak pernah setengah – setengah, azek) diubah menjadi Tuhan yang pembohong, yang menyembunyikan maksud dan tujuannya, yang licik. Seluruh tulisan Stirner bertumpu pada teknik ini. Kalau tidak ada teknik ini, arahnya berbeda sama sekali. Meski memang ada kerajaan dan penguasaan melalui konsep, ada penggantian Tuhan dengan ide – ide, dan sebaliknya, ada baiknya juga pengembangan diri, hal – hal buruk di atas bisa dihindari justru dengan adanya konsep dan adanya Tuhan. “Loh, berarti Tuhan tidak menuntut apa – apa, bro?” Coba kita baca Alkitab, bro. Sebelum menjadi tujuan akhir manusia, Tuhan menjadi asal – usul segala sesuatu. Tuhan memang meminta manusia melayani, berjuang, menjalankan pekerjaan Tuhan, tetapi dulu Tuhan memberi manusia segala – galanya, dan manusia itu menyia – nyiakan hadiah itu, sehingga ia harus bekerja dan bisa mati (Kej 3:17). Adil, kan? Siapa yang tadi bilang tidak adil? Gemes rasanya, pengen dicubit – cubit kayak logo es krim yang baru buka di mana – mana itu.
Tapi, kok bisa ya, Tuhan yang begitu baik dibalik menjadi Tuhan yang egois? Gue nggak tau, bro. Tapi yang bisa gue ceritakan, begini. Kalau kita melihat sejarah hidup Stirner, pahit rasanya. Ayahnya meninggal saat muda, adik perempuannya juga. Ibunya masuk rumah sakit jiwa. Istrinya dan anaknya meninggal saat kelahiran anak tersebut. Karirnya tidak sukses, kerjanya agak serabutan, selama belajar dan mengajar filsafat. Istri keduanya tidak pernah mencintainya. Di tengah keadaan seperti itu, buku “The Ego and Its Own” terbit, dan banyak dikritik. Ia meninggal di usia 49 tahun setelah digigit serangga. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi kita semua yang mengecap pendidikan tinggi di tengah situasi batin yang pahit.
Kevin Reiner Hidayat
DAFTAR PUSTAKA
Stirner, Max. The Ego and Its Own. Terjemahan oleh Steven Tracy Byington. Diedit oleh David Leopold. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
Taylor, Shelley E; Peplau, Letitia Anne; Sears, David O. Social Psychology. Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall, 2000.