Logo TandaSalib

Gender, Catch-22, Foucault, dan Kemanusiaan

Gambar Mahasiswa Unhas di aplikasi Zoom.,
Seorang mahasiswa diusir dosen karena gendernya tidak biasa, yaitu netral.

Janji Open-Minded?

SobaTanda, akhir bulan Agustus, yang biasanya ditandai dengan gajian seperti akhir bulan lainnya, ditandai sebuah peristiwa yang mengundang reaksi keras dari Netizen. Jika kita berselancar di media sosial, kita dapat menemukan berbagai bentuk bela diri dari kaum yang dijuluki Netizen “Open Minded“. Tentu ini ejekan. Seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin diancam diusir oleh dosen yang hadir saat acara penerimaan maba (mahasiswa baru) karena ia mengaku “gender neutral“. Ini bukan satu – satunya kasus yang kontroversial dalam dunia pendidikan. Ada kasus murid yang dipotong rambutnya, dipaksa memakai jilbab, dan sebagainya. Kenapa bisa gitu ges? Yuk, kita telusuri!

Apa itu Gender?

Bagi Ivan Illich, gender adalah sebuah konstruksi, sebuah peran buatan yang berkaitan dengan peran manusia dalam ekonomi, biologi, komunikasi, lokomosi (pergerakan), dan sosial. Bahasa menjadi alat utama untuk menerapkan peranan – peranan ini. Maka 1) tidak ada orang tidak terlahir dengan gender selain peran yang dibatasi tubuh biologisnya, karena semua orang terlahir dengan tubuh, 2) gender bukan sekedar urusan orientasi seksual, melainkan mengenai peran manusia dalam berbagai bidang tersebut. Bentuknya bisa kita lihat di hidup sehari – hari, dan contohnya seperti berikut: Ada seorang perempuan yang dilarang kuliah oleh orang tua karena percuma, menurut mereka ia akan menikah dan tidak bekerja. Ada seorang perempuan yang mengalami menstruasi berat, namun tidak boleh menjalani pengobatan hormon demi kesuburannya. Seorang pria dan wanita Jepang tidak boleh menggunakan kosakata dan gaya bahasa tertentu yang disediakan untuk lawan jenis. Seorang perempuan bisa saja dipingit di dalam rumahnya sebelum kawin, sementara sang lelaki bebas bermain ke mana saja. Seorang lelaki kadang dianggap boleh mendekati banyak perempuan, tetapi seorang perempuan tidak boleh melakukan yang sebaliknya. Ada sedikit, kalau bukan tidak ada, alasan moral sah yang mendasari aturan tersebut, dan satu – satunya alasan yang ada adalah peranan gender yang telah dipatok untuk orang dengan jenis kelamin tertentu.

Pengarahan atau Komunikasi?

Kata – kata dosen yang menghadapi sang mahasiswa ternyata tercatat, Sobat. Sejauh Kompas.com melaporkan berita ini, tercatat ada kata – kata dekan, tepatnya Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unhas, yang berbunyi seperti ini: “Kamu mau sekali jadi perempuan atau laki – laki?” Ketika ia mengetahui bahwa mahasiswa itu netral gendernya, jawabannya adalah, “Halo, halo, halo, panitia ambil ini. Ambil tasmu. Kita nda terima laki – laki dan perempuan di sini. Salah satunya ji diterima.” Sehingga, ini menjadi contoh yang mengecewakan, sebab sang dosen, yang merupakan seorang pendidik, menolak untuk mendidik, dan lebih memilih untuk lepas tangan, entah apa motivasinya.

Jika SobaTanda cermati alur pembicaraan antara dosen dan mahasiswa satu ini, Sobat akan menemukan bahwa kasus ini bukan sekedar tidak mampu menjadi pendengar yang baik. Kata – kata ‘kamu mau sekali jadi perempuan atau laki – laki?’ sudah mengarahkan lawan bicara kepada dua pilihan yang kira – kira seperti menawarkan seorang sandera untuk memilih borgol mana yang mau ia pakai . Orang yang kurang awas akan memilih salah satunya, tanpa sadar bahwa ia tidak diberi pilihan selain apa yang lawan bicaranya ingin dengar. Jika lawan bicara memilih sebuah pilihan yang tidak disediakan, ada mekanisme tertentu yang akan bekerja, sedemikian rupa sehingga ia akan memilih pilihan yang sesuai, atau ia keluar dari mekanisme yang menjalankan sistem. Ini adalah sesuatu yang sering disebut “Catch-22”.

Catch-22

Dalam ulasan novel Catch-22 oleh Margaret Miller dan Brian Phillips, mereka menangkap bahwa Catch-22, sebuah alur algoritma bagi para tentara AU Amerika dalam kisah tersebut, merupakan logika yang salah. Salah satu versi alur tersebut dicatat di buku tadi, Sob. Seorang tentara tidak dapat mundur dari misi kecuali ia melapor kepada atasan kalau ia gila, tetapi kalau ia mampu melapor, ia dianggap waras, sehingga hasil akhirnya adalah dia pasti harus maju berperang. Logika ini memiliki beberapa versi, tetapi versi ini cukup untuk mengungkapkan sumber kegelisahanku. Hal yang terjadi di novel searah dengan apa yang terjadi di Unhas kemarin., bahkan mungkin di seluruh negeri.

Beberapa manusia Indonesia adalah manusia yang diarahkan kepada suatu tujuan. Dalam prakteknya, ada beberapa manusia yang tidak sampai ke tujuan. Cara untuk memastikan manusia sampai pada tujuan ada berbagai cara. Salah satu dari cara yang dijalankan adalah kata – kata. Manusia tidak dapat berkomunikasi tanpa alat seperti bahasa. Dengan alat yang sama, manusia dapat memanipulasi alih – alih berkomunikasi. Siswa – siswi dan mahasiswa – mahasiswi sewajarnya diberi pengertian dan peringatan ketika ia melakukan sebuah kesalahan yang tidak ia mengerti, baik dari motivasinya sendiri, maupun dari konsekuensi dari perbuatannya. Jika tujuan para dosen pengampu mereka lebih penting dari mahasiswa dan mahasiswi mereka sendiri, barulah mereka akan tega mengusir mereka begitu saja. Maka muncul pertanyaan: Apa tujuan mereka?

Sejarah Klasifikasi: Pembacaan Parsial

Seturut Stephen J. Ball, Michel Foucault membagi teknik atau politik dalam pendidikan: Disiplin dan Regulasi. Disiplin terpusat pada teknologi yang digunakan dalam disiplin dan hal – hal seperti seragam, sedangkan regulasi terpusat pada kesatuan badan pendidikan dan apa saja yang mengancam badan tersebut atau masyarakat. Teknologi yang dimaksud ada dalam pikiran. Manusia dipecah menjadi individu di tempat dan waktu, dengan gerak, aksi, dan operasi tertentu. Dengan klasifikasi demikian, manusia menjadi dapat ditangkap sekaligus diubah. Ruang kelas bisa menjadi contoh penerapan hal sedemikian. Pelajar dibagi dari gender, kemampuan, kebutuhan (khusus), dan lain – lain, sedemikian rupa sehingga mereka dimasukkan dalam sekolah tertentu, ruang tertentu, kursi tertentu, dan ujian tertentu, demi mereka bisa diukur dan dicatat. Cara – cara dan kuasa yang mengendalikan baik murid maupun tenaga pengajar dibuat tidak terlihat, sedangkan pekerjaan mereka yang terlihat. Selain segala sesuatu yang ada dalam ruang, waktu juga berperan penting dalam disiplin. Waktu digunakan untuk membatasi waktu ujian, jam belajar, dan lain – lain. Semua agar orang “berkembang”. Disiplin juga memiliki tujuan. Tujuannya adalah menemukan kemampuan seorang murid. Murid diarahkan agar ia pintar, agar ia memiliki kecerdasan kognitif. Untuk apa?

Tentu para pendidik memiliki tujuan, dan negara memiliki tujuan lain, seperti dicatat Ball, bahwa negaralah yang mengharuskan itu semua. Contohnya di Inggris. Negara membentuk manusia dan tenaga pendidik dengan cara di atas, agar mereka menjadi “beradab”. Kalau kita mengikuti contoh dalam buku, tertera kaitan antara pendidikan dan garis keturunan, dimana pemerintah juga mendirikan berbagai institusi untuk kegilaan, kelainan, serta berbagai penyakit mental lainnya, sehingga kita melihat bahwa negara menyaring orang – orang yang kurang mampu dan memperoleh golongan yang mampu mengikuti pelajaran. Dengan kata lain, apa yang negara cari adalah, rakyat mana yang produktif, mana yang tidak, sehingga kehidupan bukan lagi soal manusia sebagai individu, melainkan sebagai bagian dari negara yang merupakan harga mati untuk terus berjalan, sekalipun harus mengorbankan individu yang bermartabat.

Indonesiaku

Gitu sob, kalau di Inggris. Muncul pertanyaan: begimane dengan Indonesia? Sepertinya, arahnya sama. Kita bisa bertanya, mengapa orang difabel/disabilitas hanya diterima dalam lapangan pekerjaan seperti membuat tas dan kerajinan tangan. Dalam kasus mahasiswa Unhas, mungkin orang “non-biner” dianggap tidak akan bisa mendapat pekerjaan dan hidup sosial yang baik karena perbedaannya, sehingga menjadi tidak produktif. Para dosen mengingat keadaan Indonesia yang sekarang, dan memutuskan untuk menghukum dan memotongnya sejak awal. Jika yang terjadi demikian, maka hal tersebut mengecewakan. Apakah nilai seorang manusia diukur dari berbagai kategori tersebut? Jelas tidak. Apa jawabannya?

Dalam Universal Declaration of Human Rights, tertera bahwa manusia terlahir bebas dan setara dalam harga diri dan hak – haknya, ia memiliki akal budi dan suara hati, dan sebaiknya berlaku kepada satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Sang mahasiswa, asal diberi bahan dan pengajar yang baik (dia belajar gender dari media sosial), bisa memahami persoalan gender, persoalan hukum mengenai gendernya, dan lain – lain, untuk membuat keputusan. Mahasiswa tersebut juga akan lebih bahagia, kalau ia mendapat perhatian tersebut. Selain kebahagiaannya, kita juga perlu memperhatikan orang tua. Ia memang bebas untuk memilih gender (bukan jenis kelamin atau seksualitas) apa yang akan ia ambil, tetapi peran orang tua krusial di sini agar ia mengenal dirinya. Konsekuensinya akan ia hadapi sendiri di Pengadilan Terakhir, Siratul Mustakim, atau apapun. Negara dan institusi pendidikan tidak dapat ikut campur dalam hal ini (kalau soal nyontek, jelas bisa), meskipun kalau ada hukumnya, kecuali jika ia melakukan tindak kriminal dan melanggar kode etik universitas atas dasar gendernya, misal pelecehan!

Dalam kitab suci (Katolik), tertulis manusia terlahir laki – laki dan perempuan (Kej. 1) Tidak dibahas masalah gender netral, karena masalahnya belum diangkat di masa kitab suci tertulis, meski pembedaan peranan sudah dijalankan (“aku tidak mengijinkan perempuan mengajar….” 1 Timotius 2:12). Meski demikian, hidup sebagai laki – laki dan perempuan, baik secara kelamin maupun secara peran, adalah anugerah. Mereka yang memasang gender netral melewatkan kesempatan merasakan anugerah tersebut. Apakah reaksi yang tepat bagi orang – orang yang memegang posisi yang membuat mereka melewatkan anugerah tersebut? Apakah caci – maki dan komentar kejam di media sosial? Tentu tidak. Membawa kipas angin saku bukan suatu penyimpangan, sama seperti laki – laki menjaga anak dan perempuan bekerja.

Kritik dan Saran

Tidak lazim bukan berarti tidak benar. Dosen – dosen dan netizen, selain perlu belajar membedakan gender, jenis kelamin, dan orientasi seksual, perlu belajar satu hal itu. Perilaku sang mahasiswa yang membawa kipas tidak lazim, tetapi tidak kriminal atau imoral, sebab tindakan yang masuk ke ranah moral adalah tindakan yang melibatkan akal budi dan suara hati. Tindakan berarti sudah dilaksanakan dengan mempertimbangkan baik dan buruk kepada diri dan orang lain. Silakan pertimbangkan, apakah memegang kipas angin berdampak buruk atau baik, atau sekedar kenyamanan, sekedar afeksi.

Sebuah kritik perlu dilancarkan. Sang mahasiswa dikabarkan belajar gender sendiri. Hal ini adalah sebuah kekeliruan besar di pihaknya, karena masalah gender adalah masalah serius yang dalam konsepsinya banyak melibatkan kaum intelektual dan memunculkan berbagai peristiwa serta fenomena, dan tidak jarang dipahami secara salah, sehingga muncul gerakan ekstrim dari berbagai pihak. Meski demikian, bisa jadi hal ini terjadi justru karena tidak ada yang mengajarkannya padanya. Pesan untuk sang mahasiswa: Belajarlah dengan sungguh – sungguh!

Lakik?

Memang seorang individu, terlepas ia lelaki atau perempuan, perlu belajar hidup dengan tangguh. Perilaku memakai kipas angin karena kepanasan di tengah ospek, meski terkesan letoy, masih ada rasa – rasa tangguhnya kalau dibandingkan dengan anggota parlemen yang maunya makan lobster dan pengusaha yang maunya naik BMW. Aku berharap: Netizen, dosen – dosen, dan SobaTanda mau berlaku lebih lemah lembut kepada orang – orang, dengan pemahaman dan cara – cara yang ditawarkan di atas, sekalipun kalau mereka membuat kesalahan.

Kevin Reiner Hidayat

DAFTAR PUSTAKA

PUSTAKA DARING

United Nations, “Universal Declaration of Human Rights”. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights.

Zintan Prihatini. “Video Viral Mahasiswa Unhas Diusir karena Mengaku Non-Biner, Apa Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender?” https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/22/170200223/video-viral-mahasiswa-unhas-diusir-karena-mengaku-non-biner-apa-perbedaan?page=all, Senin, 22 Agustus 2022, 17:02 WIB.

Isak Pasa’buan, “Viral Mahasiswa Baru Unhas Diusir Dosen gegara Ngaku Gender Netral”, https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6244643/viral-mahasiswa-baru-unhas-diusir-dosen-gegara-ngaku-gender-netral, Sabtu, 20 Agustus 2022 13:09 WIB.

PUSTAKA LURING

Ball, Stephen J. Foucault, Power, and Education. New York : Routledge, 2013.

Margaret Miller dan Brian Phillips. Catch-22 : Joseph Heller. New York : Spark Publisher, 2002.

Illich, Ivan. Gender. New York: Pantheon Books, 1982.