Logo TandaSalib

Maria Sebagai Dia yang Tidak Hancur

Elinor Mason. Sumber: UCSB.

Cewek Lu!

Sekitar kelas 4 SD, aku menengahi sebuah percekcokan a la anak SD. Karena tindakanku itu, temanku mengataiku: Cewek lu! Baru akhir – akhir ini pikiranku dipenuhi sebuah keresahan: Mengapa identitas perempuan dijadikan ejekan kepada lelaki?

Feminisme

SobaTanda, pernah denger soal Feminisme? Pernah bergabung atau masih tergabung dalam gerakan tersebut? Atau, menentang dan menganggap bahwa gerakan feminisme tidak sesuai dengan ajaran Gereja? Tunggu dulu, sob. Kita lihat apa itu Feminisme secara umum.

Elinor Mason memulai buku “Feminist Philosophy” dengan kalimat sederhana: Feminisme adalah sebuah gerakan yang hendak menghentikan opresi seksis. Kesempatan pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan yang diperoleh seringkali diatur secara tidak adil untuk pria dan perempuan. Jika perempuan melawan, ada konsekuensi yang seakan memaksa mereka untuk tidak melawan. Dalam penghentian opresi tersebut, konsep gender perlu dipahami. Gender dipahami sebagai peranan seorang manusia dalam hidupnya, entah biologis, sosial, ekonomis, dll. Gender terpisah dari jenis kelamin. Seorang perempuan adalah perempuan, sekalipun ia bermain sepak bola.  

Feminisme merambah bidang teoritis (berpikir) dan politis (bertindak). perempuan seringkali menghasilkan berbagai pemikiran dan penemuan ilmiah, namun dulu mereka terkungkung oleh struktur yang tidak mengijinkan mereka masuk ke dalam perkumpulan ilmiah yang khusus untuk pria. Tindakan politis perlu agar hak – hak perempuan bisa terpenuhi dan kesetaraan gender bisa diterapkan. Ternyata, namanya juga opresi, ada penghalang – penghalang yang menjaga agar opresi tetap langgeng. Tiga penghalang dalam memperjuangkan hak – hak tersebut adalah seksisme, opresi, dan misogini.

Seksisme

Seksisme adalah pelaksanaan diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Orang berlaku dan berpikir tentang seseorang secara berbeda hanya karena orang tersebut berjenis kelamin perempuan. Jadi, ia dinilai karena ia perempuan dan bukan penilaian per individu. Misalnya, memperlakukan perempuan sebagai makhluk bodoh, ‘karena perempuan itu memang bodoh. Kenapa bisa tahu dia bodoh? Ya dia perempuan’, demikian contohnya; atau saat ujian masuk militer, ada kandidat lelaki dan perempuan, dan si perempuan lebih kuat secara de facto, tetapi karena ia perempuan, dia dianggap pasti lebih lemah, sehingga tidak diloloskan; atau pemilihan manager laki – laki untuk memimpin laki – laki, karena “perempuan pasti tidak bisa mengatur laki – laki”. Penilaian  – penilaian seksis ini ada karena seluruh peran dalam dunia sosial distrukturkan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, dan penyimpangan, atau sesuatu yang dinilai salah berdasarkan sistem tersebut tidak dapat ditoleransi.

Opresi

Opresi adalah perbuatan salah dan menyakitkan yang didasarkan pada peran berdasarkan gender seperti di atas. Jika laki – laki tidak menurut pada peran tersebut, biasanya ia dianggap menyimpang dan ia dianggap “kalah”, misalnya kalah dengan rasa sedih, kalah dengan bujuk rayu, dll., dan kalau ia ikut dengan peranannya, ia dibiarkan, ia menang. Tidak demikian halnya dengan perempuan. Jika ia menuruti peran yang diberikan padanya, dia dianggap “penurut” dan kepribadiannya akan semakin dihapus dengan nilai – nilai dalam peran (“perempuan harus selalu ceria dan mendukung”), tetapi kalau tidak, ia akan dianggap “pahit, bermasalah, sulit dijadikan teman”. Jadi, perempuan terjebak pada situasi selalu kalah. Perlakuan istimewa kepada perempuan justru semakin menandakan bahwa ia dijebak dan tidak bebas. Perempuan didahulukan untuk diselamatkan di kapal tenggelam? Perempuan dianggap lemah dan tidak berdaya. Perempuan mendapat jatah kursi di DPR? Perempuan dianggap inferior secara politis. Perempuan jago mengurus anak? Kemampuannya sebatas itu. Halangan – halangan kecil tersebut nampaknya mudah diatasi di mata laki – laki, tetapi halangan – halangan tersebut ternyata sangat banyak bagi perempuan, sehingga seakan membentuk sebuah jeruji penjara yang tidak mungkin dijebol sendirian.

Opresi memiliki lima bentuk utama: Eksploitasi, marginalisasi, ketidakberdayaan, imperialisme kultural, dan kekerasan. Perempuan dirampok dari hasil kerja kerasnya, misalnya, dalam bahasa Karlina Supelli, profesi ibu rumah tangga tidak ada gaji dan cuti. Marginalisasi dalam konteks feminisme adalah anggota kelompok tertentu (perempuan) tidak dimasukkan dalam kelompok tenaga kerja, karena ia adalah perempuan. Perempuan sering tergantung pada gaji dan belas kasihan suami, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dan hak – hak dasar. Ketidakberdayaan artinya, perempuan tidak dihormati oleh masyarakat, kecuali ia sungguh – sungguh berjuang setengah mati untuk memperoleh kehormatan tersebut. Laki – laki biasanya dihormati begitu saja — anak laki – laki dibiarkan bermain, tetapi anak perempuan dipaksa belajar dengan rajin, supaya ia bisa dihormati. Imperialisme kultural artinya, suatu kelompok (laki – laki) dianggap normal, dan kelompok lain (perempuan) dianggap lain dari normal (the other). Seorang laki – laki dianggap sebagai pribadi, individu yang bebas, tetapi perempuan dimasukkan ke dalam stereotipe (tiger mom, prostitute, bawel, cute, selalu benar, dsb). Kekerasan memang jelas merupakan perbuatan melukai dan jahat, tetapi dalam opresi, khususnya terhadap perempuan, kekerasan tersebut dianggap normal. Pemerkosaan dimaklumi karena “bajunya menantang”, “laki – laki tidak bisa menahan nafsu, seperti kucing di depan ikan asin”, “perempuannya juga mau”, dan lain – lain. Pada akhirnya, opresi merupakan sebuah bentuk kontrol terhadap perempuan — agar kekuasaan yang berpihak pada laki – laki langgeng, dan bisa berbentuk fisik maupun mental, dimana kekerasan mental mengambil bentuk segala usaha untuk membuat perempuan ragu dengan persepsi dan sikapnya sendiri (contoh: gaslighting).

Misogini

Misogini bisa berarti dua hal: Kebencian kepada perempuan yang nampak pada perbuatan orang, yang bertujuan untuk menyampaikan makna dan menimbulkan efek tertentu bagi dan pada perempuan, atau sebagai bagian dari opresi yang bertujuan untuk memastikan bahwa perempuan tetap kalah. Opresi yang dimaksud adalah opresi struktural, sebab orang bisa tidak sadar saat melaksanakan tindakan misoginis, melainkan sudah ada sebagai sistem. Entah dalam bentuk kebencian yang berujung pada tindakan, atau sebuah tindakan pengkondisian para perempuan, Kate Manne dalam Mason menyebutnya sebagai “down girl moves”, gerakan yang menjatuhkan, dalam bahasaku, mematahkan, perempuan.

Maria. Sumber: Wikimedia Commons.

Maria

Perempuan sepanjang masa dikepung untuk menjadi salah, kalah, dan patah. Keadaan seperti ini bukan tanpa harapan. Ada satu perempuan yang tidak menjadi salah, sebab ia bebas dari dosa; tidak kalah, sebab ia melaksanakan pekerjaan Allah tanpa cela; tidak patah, sebab ia percaya pada Allah, pada Putranya. Ia berdiri tegak di depan kayu salib, tempat Putra Allah tergantung (Yohanes 19:25). Ia adalah Maria.

Ketaatan Maria adalah ketaatan seorang panglima yang mengangkat salibnya bagai pedang ke hadapan musuh. Ia mematahkan segala stereotipe dan ancaman masyarakat terhadap wanita yang hamil tanpa suami (Lukas 1:38). Ia bukan wanita lemah yang mudah dipatahkan semangatnya karena kesulitan tubuhnya (Lukas 1:39) atau sensitif terhadap ucapan PutraNya sendiri (Lukas 2:49). Ia adalah seorang yang berakal budi, rajin memaknai peristiwa hidup, dan tidak menyerah begitu saja di hadapan segala hal yang tidak ia mengerti (Lukas 2:51). Menjadi jelas, ketaatan Maria bukan ketaatan buta, atau tunduk karena takut. Ia adalah seorang pejuang yang tangguh bagaikan benteng, tidak hancur di hadapan dunia pada jamannya yang keras terhadap perempuan. Perempuan, sanggupkah anda hidup demikian?

Kevin Reiner Hidayat

DAFTAR PUSTAKA

Mason, Elinor. Feminist Philosophy: An Introduction. New York: Routledge, 2022.