Apa Salahku, Apa Salah Ibuku?
SobaTanda, pernahkah sobat berbuat salah? Misalnya, SobaTanda mengangkat sebuah nampan yang memuat beberapa gelas air dan jus di restoran, atau membuat PR dengan sepenuh hati. Ketika SobaTanda mengangkat nampan tersebut, gelas – gelas yang terbuat dari kaca bergeser dan jatuh ke lantai, sehingga isinya bercipratan ke mana – mana, atau ternyata PR sobat salah hitung dan menghasilkan angka yang salah. Kemudian SobaTanda berpikir, “wah, ternyata aku melakukan kesalahan, nampannya lupa diberi busa karet”, mengingat kejadian tersebut, dan berjanji untuk tidak berbuat persis sama seperti yang barusan, yaitu selalu menaruh busa karet di atas nampan. Akhirnya, SobaTanda tahu bagaimana cara mengerjakan hitungan dan membawa minuman di gelas dengan nampan.
SobaTanda, tidak perlu menjadi seorang filsuf untuk menjadi semakin baik. Masalahnya, kadang orang lupa dengan apa yang baik, bagaimana cara melakukannya, apa saja yang diperlukan untuk berbuat baik, sikap batin apa yang baik, dsb., karena mereka sibuk dan sering lupa mengecek kesalahan – kesalahan mereka, atau mereka didebat sampai bingung, sehingga mereka butuh mengingat kembali apa yang baik. Plato adalah salah satu tokoh yang mengusahakan agar orang kembali ingat akan apa yang baik.
Sofis vs. Plato
Sekitar abad 5-4 SM, sebuah kelompok pemikir yang disebut kaum Sofis muncul di Polis (Kota) Atena. Nama mereka dalam lidah Yunani disebut “sophistēs”, yang berasal dari kata “sophia”, yaitu kebijaksanaan. Dengan kata lain, mereka adalah kumpulan orang – orang bijak. Sesuai dengan karakter seorang bijak, mereka mengajar kaum Atena (yang bukan budak, perempuan, dan anak – anak) untuk berpidato dan berargumen dalam persoalan politik (urusan tata kota) dan persoalan hukum. Masalahnya, yang mereka ajarkan bukan apa yang baik, melainkan bagaimana cara berkata – kata, berargumen, dan berpikir, sedemikian rupa sehingga mereka selalu menang dan naik jabatan.
Berlawanan dengan kaum sofis yang mengajar orang berdebat agar bisa menang, Plato muncul sebagai filsuf yang mengajar orang Atena soal ide. Biasanya, kita menyamakan ide dengan “bayangan” yang muncul di pikiran kita setelah mendengarkan deskripsi dari orang lain, sehingga kita menjadikan diri kita seperti gelas yang diisi. Ide bagi Plato bukan demikian. Sokrates, guru Plato, sering dikisahkan masuk ke dalam dialog antara dirinya dengan kaum Sofis. Dalam buku Xarmides terjemahan Setyo Wibowo, Sokrates dikisahkan mendengarkan Xarmides, seorang muda, yang mencoba menjawab pertanyaan, “apa itu keugaharian?” (kesederhanaan). Xarmides memiliki beberapa jawaban, namun setelah Sokrates mempertanyakan jawabannya, Xarmides tidak bisa menjawab. Ketika Xarmides menjawab bahwa keugaharian adalah soal rasa tahu malu, Sokrates menjawab bahwa kadang kita perlu melawan rasa malu demi melakukan tindakan yang benar. Pertanyaan Sokrates yang lain membuat Xarmides makin frustrasi dan malu, karena ia baru saja melakukan kesalahan di muka umum, tapi justru bagi Plato proses ini penting. Karena ia tahu apa yang salah, ia bisa lebih dekat dengan apa yang benar, seperti pemahat memahat bagian yang tidak diperlukan, sehingga membentuk patung yang indah. Inilah sebuah proses maiuetik, melahirkan ide, atau “bayi pengetahuan” yang sebisa mungkin bebas dari cacat kesalahan dan kejahatan, yang akan memimpin manusia pada tindakan yang benar, sesuatu yang Xarmides tidak pahami sampai akhir cerita.
Kesalahan Pertama
Adam dan Hawa adalah tokoh manusia pertama, dan merupakan manusia pertama yang berbuat salah serta dosa. Tindakan mereka memakan buah terlarang menyebabkan mereka harus diusir dari taman Eden dan hidup susah. Mereka juga bukan pasangan orang tua yang bijaksana. Karena dosa asal, mereka gagal mendidik anak – anak mereka untuk mengasihi satu sama lain. Cerita mereka disarikan dalam sebuah catatan yang kemudian disebut kitab Kejadian. Ketika membaca cerita mereka, orang bisa belajar dari mereka dan menyadari keberdosaan mereka. Sabda Tuhan adalah pusaka pustaka (sengaja) yang hendaknya dibaca dan dihargai, jika anda adalah orang Kristen, Katolik, atau orang yang sekedar ingin tahu sekalipun.
Berkaca dari Indonesia
Indonesia kita saat ini adalah dunia yang secara umum tidak menoleransi kesalahan. Artis berbuat aneh – aneh, orang salah omong, dan lain – lain, jawabannya apa? “Cancel!”, “Boikot!”, “Mundur!”, dan lain – lain. Uniknya, Indonesia kita saat ini juga merupakan dunia yang secara umum tidak mengajarkan orang untuk berpikir kritis. Orang menerima teks untuk dihafal, lalu hafalan itu disarikan, dirangkum, dipendekkan, apapun itu, teks disiapkan untuk hafalan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Akibatnya, banyak orang yang tidak mengerti arti dari teks, sehingga tidak diterapkan dalam hidup, dan tidak mampu menjadi peringatan bagi orang yang hendak berbuat salah atau jahat. Karena mereka tidak tahu soal perbuatan mereka, ada yang membela diri, ada juga yang takut dan menurut buta. Metode “maiuetik” Plato, dimana orang dikritik sebelum ia menjalankan paham yang salah, menjadi sebuah sumbangan metode yang bernilai, karena orang menjadi tahu apa yang pasti salah, dan apa yang mungkin benar, sehingga ia menjadi lebih bijaksana dalam bertindak, dan lebih rendah hati untuk mendengar pernyataan bahwa ia salah.
Kevin Reiner Hidayat
DAFTAR PUSTAKA
Christopher Shields, The Blackwell Guide to Ancient Philosophy, :Blackwell Publishing, 2003.
Wibowo, A. Setyo. Platon: Xarmides. Yogyakarta: Kanisius, 2015.