Drama atau Manipulasi?
SobaTanda, beberapa waktu lalu, Lestiani/Lesti Kejora sempet menjadi bulan – bulanan Netizen. Soalnya, Lesti menarik laporan KDRT. Kasus KDRT yang dilakukan Rizky berakhir damai. Ada yang menganggap Lesti membuat drama, supaya dirinya populer. Padahal, itu kasus KDRT lho! Adakah kesadaran kita untuk nggak komentar tanpa mengetahui duduk perkaranya? Bagiku, Lesti dimanipulasi lho!
Komentar tajam datang dari netizen, tetapi yang paling tajam adalah dari keluarga sendiri. Keluargaku menganggap Lesti orang yang bodoh, yang masih cinta setelah dipukuli orang terdekat. Sebentar dulu, kataku, manipulasi psikologis bukan sesuatu yang mudah disadari dan dilawan, bagaikan sihir!
Sim Salabim, Dari Garang Jadi Alim
Kalau kita belajar ilmu psikologi sosial, kita bakal menemukan suatu teori dari Lenore Walker yang menarik. Teori tentang KDRT itu ditulis di Encyclopedia of Domestic Violence. Dalam kasus – kasus KDRT, kekerasan tersebut berulang, dan bukan karena si perempuan tidak berakal. Tahap pertama yang terjadi adalah membangun tegangan (tension building). Di tahap ini, biasanya orang dikata – katain dan dihina dulu. Kalau emosi sudah menumpuk, tahap kedua, namanya acute battering (pemukulan tiba – tiba), dimana pelaku kehilangan kontrol dan melakukan kekerasan. Dalam kasus Lesti, ia dibanting. Tahap ketiga itu disebut honeymoon, dimana pelaku menyesal dan kembali sayang, malah bisa berlebihan. Contohnya, Rizky meminta maaf ke orangtua Lesti, yang kayaknya memberi suatu afeksi di hati Lesti, dan ia kembali yakin dan percaya kepada Rizky. Ada kasus dimana si korban malah merasa ia adalah penyebab masalah KDRT muncul. Victim blaming juga sering banget terjadi. Pola kekerasan ini adalah pola yang terus berulang, semakin menegangkan, dan semakin kasar, terus rasa menyesal pelaku makin tipis. Dalam kasus – kasus terburuk, orang bisa mati.
Levinas, Pakai Ulti – mu!
Emmanuel Levinas, seorang filsuf, menulis sebuah buku berjudul “Otherwise than Being”. Ampun deh, kalau kamu baca bukunya, kamu akan memilih dikulitin idup – idup. Tapi persis itu yang dia tulis! “To say is to approach a neighbor, “dealing him signifyingness”. Itu mau ngomong, kalau lu keluar rumah, terus ketemu abang bakso, abang bakso bisa nawarin “bakso, bakso!” kalau lu, misalnya, bawa dompet, tapi bisa juga dia mikir, “tawarin aja lah, belum laku” dan nganggep lu mau makan bakso. Lu namanya lagi “saying”, lagi ngomong dengan badan lu, dan abang bakso lagi mikir, nama pikirannya “the said”. The said ini yang bisa bikin orang mikir semena – mena.
“Saying uncovers, beyond nudity, what dissimulation there may be under the exposedness of a skin laid bare…. exposure has a sense radically different from thematization.” Orang bisa berpikir tentang orang lain, tetapi pikiran itu bisa jadi menggambarkan sesuatu yang sama sekali beda. Setiap orang bisa dikatain tanpa dia mesti ngapa – ngapain. Misalnya, ada orang pake baju terbuka, nah, dia terekspose, dia masuk penyingkapan (exposure), sehingga orang bertanya – tanya, “bocah ngapa?” Setiap orang bisa mikir, “******”, lalu diteriakin atau disuit – suit. Orang itu tau dia siapa, dan orang merasa bebas – bebas aja menganalisis dia sebagai ******. Tapi perlu diinget, orang itu bukan apa yang kita omongin! “The nominal form, the form of the term as a term, of the one in this term, is irreducible to the verbal form”. Pikiran orang cuma di otak doang, dia ada di luar sana.
“It is a denuding beyond the skin, to the wounds one dies with, denuding to death, being as a vulnerability.” Banyak orang merasa bebas ngomong tentang orang yang muncul di media massa, tapi kadang orang gak sadar bahwa dia rentan terluka, dan kayaknya memang terluka oleh hilangnya dukungan kepada dirinya. “The influences, complexes and dissimulation that cover over the human do not alter this holiness, but sanction the struggle for exploited man”. Cacat cela seseorang bukan alasan yang ngebenerin kita untuk ngomel – ngomel di sosmed tentang dia, apalagi cuma supaya gak gemes dan kesel, bahkan mau bikin dia nyesel. Gak gitu, bro.
Terus, Gimana Dong?
Apa yang dialami oleh Lesti itu kasus yang bisa nimpa siapa aja. “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat 7:1-5). Mungkin anda – anda berpikir, Lesti nggak lurus pikirannya waktu ia narik laporan, tetapi kita yang menghujat di medsos adalah orang yang lebih nggak mikir lagi. Lu mau ninggalin anak cucu lu sosmed yang isinya hujatan, atau lidah yang pait kayak baju gak dicuci lima hari? Ada gak orang tua atau calon orang tua yang waras lakunya kayak gitu?
Udah lah. Daripada kita hujat Lesti, yuk, kita tobat, kita doa. Mumpung bulan Rosario. Biar kebiasaan doa Rosario jadi warisan buat anak. Dijamin, anak yang warisannya kayak gitu bisa ngubah Indonesia.
Kevin Reiner Hidayat
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, Nicky Ali. Encyclopedia of Domestic Violence. New York: Routledge, 2007.
Levinas, Emmanuel, terj. Alphonso Lingis, “Otherwise Than Being or Beyond Essence”, Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1991.