Kasus Rudolf dan Sambo
SobaTanda, akhir – akhir ini kita menemukan kasus – kasus pembunuhan yang keji. Christian Rudolf Tobing, seorang mantan pendeta, membunuh Ade Yunia Rizabani (Icha), diduga karena motif sakit hati. Perbuatan ini adalah perbuatan terencana. Ia bisa dihukum pidana berlapis dengan ancaman pidana seumur hidup. Sementara, Ferdy Sambo adalah seorang mantan pejabat Polisi yang ditangkap atas dugaan pembunuhan seorang brigadir, Nofriansyah Yosua Hutabarat. Diduga, ia membunuh Yosua dengan bantuan anak buah dan dengan tangannya sendiri. Gimana ya kita mengurai masalah yang bikin pusing dan ngeri ini? Apa sekedar kelepasan emosi? Atau, ada latar belakang yang memungkinkan kejadian ini?
Pierre Bourdieu dan Teorinya
Pierre Bourdieu itu seorang sosiologi (ilmu hidup dalam masyarakat), filsuf (pemikiran tentang hal yang mendasar), dan antropolog (ilmu hidup manusia). Ia membuat konsep – konsep penting: Habitus, Kapital, dan Kekerasan. Konsep – konsep itulah yang mengembangkan ilmu sosiologi sampai saat ini.
Habitus
Habitus (melalui Romo Haryatmoko) itu begini, coy. Bahasa susahnya, sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur yang dibentuk untuk membentuk (manusia), yang dibentuk, mengatur diri, dan berjalan tanpa ada yang mengatur. Dalam bahasa Jepang (mengikut Romo Bayu, PR: Jelas dan gampang), semua persepsimu, semua caramu, semua seleramu, bahkan semua yang kamu miliki, mengikuti sebuah aturan yang tidak tertulis, bahkan ditentukan oleh aturan tertulis itu. Nggak percaya?
Misalnya kamu memiliki seorang teladan, idola, katakanlah BTS, dan kamu ngefans sama dia. Ketika kamu bergabung dengan sesama penggemar, kamu harus hidup dengan cara tertentu, misal beli lightstick atau foto, membela supremasi Taehyung, dan berbicara dengan bahasa Indonesia campur korea (oppa~!) atau kamu tidak akan dianggap di kelompokmu, dikira fans karbitan, dsb.
Sama dengan kehidupan sehari – hari. Kalau kamu tinggal di beberapa tempat tertentu di pelosok Jawa, kamu harus paham dan mengikuti, bukan hanya kebiasaan, tapi juga cara berpikir orang Jawa, atau kamu dianggap “belum Jawa”.
Contoh terakhir nih, ada bos dari Sumatra, tapi pekerjanya Jawa. Beberapa orang Sumatra, misalnya, kalau orang bilang “siap”, berarti pekerjaan selesai, tetapi orang Jawa tertentu menganggap “siap” itu artinya baru mau mengerjakan. Orang Jawa itu mesti ikut si bos, atau akan ada banyak konflik.
Jadi, ada unsur “etos” atau nilai dalam habitus, yang menjadi dasar bagi seorang pribadi dalam hidup, bahkan mengarahkan tindakan, pikiran, dan ide – idenya. Sifatnya agak menentukan, tetapi agak memberi kebebasan. Kamu bebas tidak nge-fans BTS. Kamu bebas tidak tinggal di Jawa. Kamu bebas melamar di tempat kerja manapun. Tapi selalu akan ada pengaruh habitus orang lain: Orang menganggap kamu nggak gaul, nggak mau nanggepin kamu, atau nggak ada uang karena nggak ada pilihan tempat kerja lain. Kalau kamu mau mengubah semua sistem ini, bisa, tapi mereka cenderung memilih zona nyaman mereka, dengan habitus yang sudah mereka hidupi selama ini, termasuk kamu sendiri, coy. Iya, kamu juga punya habitus. Kamu cuma nggak sadar.
Kapital, atau Bekal Kehidupan
Kapital adalah sumber daya yang memungkinkan kita menguasai orang, atau memungkinkan kita dikuasai orang yang memiliki kapital. Karena rancu dengan istilah ekonomi, terutama Marx, kita sebut bekal hidup aja ya, coy. Bekal hidup ini ada empat jenisnya: Bekal ekonomi (uang, barang, dll.), bekal budaya (ijasah, pengetahuan, kode budaya, kemampuan menulis, dll.) yang bisa didapatkan melalui bekal ekonomi (misalnya: bersekolah harus bayar dengan uang), bekal sosial (orang dalam, koneksi, pergaulan), dan bekal simbolik (pengakuan, baik secara institusi/resmi atau tidak). Dalam lapisan masyarakat, posisi kita ditentukan keempat bekal tersebut. Orang kuat, seperti pengusaha, dosen universitas ternama, dokter spesialis, dan (tambahanku) lelaki pada umumnya, itu punya banyak bekal. Anak – anak, guru di tempat terpencil, bidan, dan (tambahanku lagi) perempuan pada umumnya, itu sedikit bekalnya. Bourdieu menyusun masyarakat dalam lapisan vertikal (atas dan bawah). Maka, orang kecil yang sedikit bekalnya ditaruh di bawah, dan orang kuat di atas. Kelas yang dominan pasti punya banyak bekal.
Arena, Strategi, dan Dominasi
Semua orang tadi ada di dalam sebuah arena. Kayak battle royale, kayak PUBG lah, coy. Orang masuk ke sebuah tempat dimana mereka menguasai satu sama lain melalui bekal yang mereka dapatkan. Cuma, di kehidupan nyata, bekalnya nggak di-loot kayak PUBG, karena bisa diwariskan atau dialihkan. Uang bisa jadi warisan. Pengetahuan bisa diajarkan. Kenalan bisa dikenalkan. Pengakuan bisa didapatkan. Nah, arena ini punya aturan sendiri. Yang tahu aturannya, bisa juara. Yang nggak tahu, tersingkir duluan. Yang tahu biasanya kebagian bekal M4, sniper, maksudnya bekalnya banyak. Yang nggak tahu, paling cuma dapet panci, alias nyaris nggak kebagian. Yang kebagian bekal make bekal itu untuk dapet lebih banyak bekal: Orang kaya investasi, orang pinter dapet beasiswa, orang dapet koneksi supaya ada lebih banyak koneksi, orang berusaha mendapat penghargaan supaya diakui, lalu karena terkenal, pekerjaannya yang lain kelihatan orang banyak, sehingga makin diakui. Bekal ini juga harus dipake dengan benar, kalau nggak, sia – sia. Investasi bodong, universitas yang didatangi ternyata nggak ternama, koneksinya pengaruh buruk, pengakuannya nggak viral, itu semua bisa bikin modal zonk. Karena orang lain bisa menjadi penyebab zonk, orang mempertahankan posisinya masing – masing di lapisan sosial, menjegal lawannya, bereproduksi, dan melakukan yang namanya subversi, artinya pembalikan, misalnya yang salah jadi benar, dsb.
Kekerasan Simbolik dan Pembunuhan
Perempuan (dan kaum lemah) sering menjadi korban kekerasan. Budaya, ajaran agama, dan lain – lain dipakai untuk menekan mereka, dan ini dianggap bukan buatan, melainkan alamiah. Ciri – ciri mereka ditentukan secara sepihak. Kebebasan hidup mereka dianggap sebagai hadiah dan sebagai belas kasihan yang sewaktu – waktu bisa ditarik. Mereka menerima perlakuan demikian karena mereka tidak tahu harus berpikir dan berbuat apa. Kekerasan ini bisa berbentuk simbolik, maksudnya nggak kelihatan, dan bisa juga kelihatan. Dalam kasus Rudolf dan (sepertinya) Sambo, ada kekerasan simbolik. Rudolf menganggap bahwa perbuatan korbannya tidak bisa diterima. Orang bisa membunuh karena merasa tidak diakui korbannya. Mereka telah melanggar aturan tidak tertulis dalam hidup si pembunuh. Orang seperti mereka merasa tidak diakui, dicurangi, kalah dalam arena, maka mereka ingin menang lagi. Istri Sambo diduga dilecehkan Yosua, dan Icha, korban Rudolf, berteman dengan H, seorang kawan yang telah menjadi lawan. Orang yang sudah nggak diakui bisa ngelawan balik. Dilawannya peraturan yang tidak tertulis itu memunculkan kekerasan simbolik, yang tidak kelihatan juga. Dengan membunuh, orang secara tersembunyi mengatakan kepada korbannya, “kamu bukan manusia, kamu nggak layak hidup”. Inilah kekerasan yang sesungguhnya, yang terjadi sesaat sebelum mereka meninggal. Semua karena manusia punya habitus yang membentuk mereka, yaitu habitus yang mengarahkan orang – orang tertentu kepada pembunuhan. Mereka punya bekal cara membunuh, senjata. Mereka menyusun strategi supaya nggak kegep. Rudolf senyum di CCTV lift sempat viral kemaren, kan? Itu strategi.
Bangsa Israel dan Tuhan sebagai Pusaka
Daerah Kanaan adalah daerah yang miskin budaya kuno. Catatan sejarah mengenai bangsa seperti Kanaan, Aram, dsb., sedikit. Bangsa Israel adalah pengecualian. Catatan sejarahnya bertahan sampai hari ini di dalam alkitab. Meski ada bagian – bagian yang nyontek dari mitos kerajaan sekitar, dan ada ketidaksesuaian catatan sejarah alkitab dengan sejarah dunia, hasil kebudayaan bangsa mereka jelas ada. Konflik antara data sejarah dengan kitab suci artinya, kitab suci tersebut memang nggak bisa dibaca sebagai buku sejarah. Apa yang mau disampaikan, coy, adalah tentang iman: Tuhan itu ada, dan relasi Dia dengan manusia itu bisa.
Bangsa Israel diapit oleh kerajaan Mesir, Babilonia, dan Asyur. Ngadepin kuasa – kuasa besar tersebut, orang Israel berkaca, “Mungkin nggak sih, mereka bisa hidup tanpa kekuatan sebesar kerajaan di sekeliling mereka?” Jawabannya adalah Tuhan. Bangsa Israel nggak punya tentara yang kuat seperti Asyur, persenjataan yang canggih seperti Babilonia, ilmu – ilmu untuk membangun dalam skala besar seperti Mesir. Satu – satunya pusaka mereka, kapital mereka, bekal hidup mereka, adalah Tuhan.
Di 2 Tawarikh 9:8, Ratu dari Syeba kagum akan kebijaksanaan Salomo. “Terpujilah TUHAN, Allahmu, yang telah berkenan kepadamu sedemikian, hingga Ia mendudukkan engkau di atas takhta-Nya sebagai raja untuk TUHAN, Allahmu! Karena Allahmu mengasihi orang Israel, maka Ia menetapkan mereka untuk selama-lamanya, dan menjadikan engkau raja atas mereka untuk melakukan keadilan dan kebenaran.” Kisah ini mau mengatakan, Tuhan senantiasa setia. Salomo sendiri pada masa mudanya nggak pede. Dia merasa nggak sanggup memerintah Israel. 1 Raja – Raja 3:7, “Maka sekarang, ya TUHAN, Allahku, Engkaulah yang mengangkat hamba-Mu ini menjadi raja menggantikan Daud, ayahku, sekalipun aku masih sangat muda dan belum berpengalaman.” Ia minta kebijaksanaan dari Tuhan, dan Tuhan kasih. Ayahnya, Daud, sangat percaya pada Tuhan. Di 1 Samuel 17, “Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.” Tuhan adalah “kapital”, pusaka, bekal hidup yang nggak pernah habis, yang nggak pernah gagal. “Lah, itu Yosua dan Icha tetep mati?” Iya, tapi seorang yang berniat membunuh sudah diingetin lewat suara hati, lewat kitab suci, lewat rasa bersalah, supaya nggak macem – macem. Mereka tetep membunuh, ya itu pilihan mereka. Tuhan terus meraih kehidupan kita. Tuhan yang datang ke Salomo lewat mimpi. Tuhan yang mengurapi Daud lewat Samuel. Tuhan yang membuat kita merasa bersalah karena nyuri – nyuri waktu buat main game di kantor, nyontek di sekolah, berbuat salah apapun. Semua karena Tuhan setia, meski kita nggak setia, dan itulah yang membuat Tuhan menjadi bekal hidup terbesar bagi hidup kita sejak kita dibaptis. Bekal itu juga yang dibuang seorang pembunuh.
Menuju Hidup Miskin Roh
Sobat, kita bisa saja mereka – reka berbagai kemungkinan masa depan dan menentukan langkah kita ke depan. Untuk melakukannya, kita butuh bekal hidup, kayak uang, barang, ijasah. Kita perlu menerima sebuah habitus, kayak foto di konser BTS. Kita perlu bertarung di dalam arena, sama penjilat jalur orang dalam di ruang kantor sebelah. Memang, kadang kita bangkrut gara – gara banyak hal. Gue ada satu temen yang hidupnya berantakan karena sakit ginjal. Tapi dia bisa terus idup karena berserah banget sama Tuhan. Kita juga diajak untuk nggak ngandalin bekal hidup kita sendiri, melainkan makan bekal Tuhan sampai kenyang. Kita nggak bisa mengadakan pembaruan begitu saja. Tapi kita bisa memberikan bekal terenak dalam hidup orang, yaitu Tuhan. Diem – diem, semua orang butuh dan mau. Kadang mereka nggak sadar, ngakunya nggak mau, malu, dsb., tapi butuh dan mau. Hadiah inilah yang bakal mengubah hidup orang, bukan kamu, bukan juga usahamu. Siap?
Kevin Reiner Hidayat
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Daring
Antonius Ponco Anggoro, “Ferdy Sambo: Kokang Senjatamu!”, https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/10/17/ferdy-sambo-kokang-senjatamu, 17 Oktober 2022, 13.43 WIB.
Erika Kurnia, “Bunuh Teman di Apartemen, Rudolf Kena Pidana Berlapis” https://www.kompas.id/baca/metro/2022/10/24/bunuh-teman-di-apartemen-rudolf-kena-pidana-berlapis, 24 Oktober 2022, 21.34 WIB.
Pustaka Digital
Haryatmoko. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post – Strukturalis. Yogyakarta: PT Kanisius, 2016. Gramedia Digital.
Pustaka Luring
Carbini, Giovanni. History and Ideology in Ancient Israel. New York: Crossroad Publishing Company, 1988.