SobaTanda, hari ini aku mau berbagi kisah pribadiku. Biasanya, aku menulis secara filosofis, secara ketat logika. Hari ini, aku menulis refleksi yang dasarnya ada, tetapi banyak berisi pengalaman. Lupakan filsafat untuk sementara waktu. Tulisan ini adalah sebuah cermin untuk diri, dan potret untuk sesama.
Suatu hari, aku sedang bergumul dengan Covid – 19, di tengah kesibukan kuliah dan menyiapkan skripsi. Skripsiku tidak selesai – selesai. Medsos penuh dengan berita yang membuat perasaan tertekan. Rasanya, aku ingin berontak. Aku ingin berontak melawan akal budi dan suara hati yang selama ini aku asah.
Selama ini, aku terluka. Dalam hatiku, aku berteriak, “Mengapa aku saja yang salah, mengapa aku saja yang kalah?” Bourdieu menjelaskan dengan teori kekerasan simbolik yang sempat kuangkat, tetapi tidak memuaskan dahagaku akan keadilan. Aku bertanya, “Kenapa aku terus – terusan ingin berontak?” Sebenarnya, apa yang salah denganku?
Aku berkaca kepada ajaran Gereja. Dosa ada dalam bentuk pikiran dan perkataan, perbuatan dan kelalaian. Ini bukan pemikiran yang asing, kalau SobaTanda pernah misa, soalnya daftar ini ada di pengakuan dosa bersama, biasa disebut “Saya Mengaku”. Soal pikiran, perkataan, perbuatan, okelah, memang salahku. Dosa keempatlah yang membuatku ingin berontak: Kelalaian.
Ada peristiwa dalam hidupku yang merekam orang – orang yang sering lalai menyadari dosanya sendiri, tetapi sadar betul akan dosa orang lain. Kelalaian ini sering terjadi justru kalau yang berdosa banyak. Penyaliban Kristus itu sesuatu yang terus terjadi, lho. Global warming katanya terus terjadi karena orang protes tentang polusi pabrik, tapi tetap naik mobil. Justru itu sesuatu yang problematik. Kenapa orang menaruh beban moral yang besar pada pengendara mobil, padahal beban moral yang besar harusnya ada di bahu perusahaan besar? Ketika orang menyalibkan Kristus, mereka butuh kambing hitam yang berfungsi untuk menutup dosa mereka, dan persis itu yang dilakukan oleh perusahaan besar; itu juga yang aku alami, yaitu menanggung beban akibat kelalaian orang lain.
Aku sering terpaksa menanggung tanggung jawab kolektif secara pribadi. “Salahmu sendiri tidak mendengarkan penjelasan”, kata guru – guru tertentu yang tidak ahli dalam hal mengajar. “Kamu tidak bisa memaksa orang mengikuti kemauanmu”, kata orang – orang yang tidak bisa sabar untuk selalu mendapatkan apa yang mereka mau. “Kamu harus belajar bertanggung jawab”, kata seseorang yang tidak bersedia mendengarkan masukan bawahannya. Itulah yang kupakai sebagai alasan untuk memberontak: “Kamu salah, kamu salah, kamu salah” kurespon dengan “Aku benar, aku benar, aku benar”, sesuatu yang unsur dosanya kusesali, tetapi pada akhirnya membawa pada sebuah kebenaran yang membebaskan dan menyegarkanku.
SobaTanda, sering orang bilang kepada sesamanya, “Ngaca!” Hari ini, aku mengajak Sobat untuk berkata, “Potret!” Potretlah ketidakadilan, potretlah cacat cela, bukan hanya dari diri sendiri, tetapi juga sesama. Jika kita diam saja, dan tidak memperingatkan orang – orang yang berlaku sedemikian rupa, kita bikin malu nabi – nabi perjanjian lama dan Yesus yang membayar harga nyawa untuk melakukan hal tersebut demi menyelamatkan kita.
Kevin Reiner Hidayat