“First Blood”
Suatu hari, aku menonton anime yang pada waktu itu sedang ramai ditonton, soalnya adikku juga nonton. Judulnya, Attack on Titan (AOT). Kisahnya, manusia dikepung oleh makhluk raksasa berbentuk manusia, namanya Titan. Manusia berlindung di balik tembok super besar, tetapi satu demi satu tembok itu runtuh karena ada Titan yang mampu menghancurkan gerbang utama. Karena dia termasuk fans yang belakangan nonton, dia menonton dari episode awal, yang sudah lama, ke episode yang terakhir muncul. Aku bergabung ketika dia telah menonton season 2 atau 3 (pembagiannya bikin bingung, ada season 3 part 1 dan 2 atau semacamnya). Karena belum nyambung, aku tonton lagi dari episode pertama, dan sampailah aku ke season 3. Ada episode berjudul “Pain” (Rasa sakit) yang merupakan bagian dari plot yang kusebut “arc Historia naik tahta”. BTW, Historia ini keturunan Bangsawan, calon ratu, yang dimanfaatkan oleh ayahnya sendiri. Ia tidak sadar bahwa teman – temannya, yaitu Eren, tokoh utama, Armin, dan Mikasa, bertarung melawan pasukan bayaran yang tugasnya bukan membunuh Titan seperti tentara AOT pada umumnya, tetapi mereka membunuh manusia dengan senjata khusus, dan berada di bawah kepemimpinan seorang keturunan pendatang, yaitu Kenny dari keluarga Ackermann.
Fokus penulis ada di sebuah adegan Season 3, episode 2, dimana Armin, seorang tentara divisi Scout (Pengintai, tugasnya menembus formasi Titan dan menemukan daerah baru yang belum pernah dipetakan) membunuh manusia untuk pertama kalinya. Ia muntah – muntah dan menangis karena menyesal setengah mati. Memang tentara divisi Scout tidak pernah diperintahkan untuk membunuh manusia, karena musuhnya spesifik para Titan. Ia mengamati bahwa musuhnya ragu untuk membunuh temannya, Jean. Katanya, dalam terjemahan Indonesia (Viu):
“Saat aku menembak untuk menyelamatkanmu, jujur saja, kupikir tak akan sempat. Maaf, tapi… kenapa malah aku yang menembaknya duluan? … Orang yang kubunuh, mungkin adalah orang yang baik. Orang yang lebih manusiawi dibanding diriku ini. Dengan mudahnya aku menarik pelatuknya.”
– Attack on Titan, Season 3, Ep. 2, “Pain”
Sebagai catatan, Armin menembak musuhnya dari belakang, sehingga wajah musuhnya tidak terlihat. Mungkin, ini adalah tanda bahwa Armin melihat musuhnya bukan sebagai manusia, melainkan sebagai seseorang yang bukan manusia, seorang yang menentang hidup dirinya dan teman – temannya. Yuk, kita lihat bahasan filosofisnya!
Wajah Manusia
Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Dalam hidupnya, ia menyaksikan Hitler naik kekuasaan, mengalami harus kabur dari Eropa, dan mengetahui saudara sebangsanya mati tanpa alasan. Ia membaktikan hidupnya untuk menyusun sebuah filsafat moral yang didasarkan pada relasi antar manusia.
Pertama, Levinas mengkritik Ontologi, sebuah modus berpikir yang ditawarkan filsuf berkebangsaan Jerman, Heidegger, kalau diterapkan pada manusia. Heidegger adalah seorang filsuf yang berangkat dari tradisi fenomenologi Husserl, seorang keturunan Yahudi yang menyusun filsafat ilmu, tentang bagaimana cara kita tahu ada ini dan itu. Dalam modus ontologi, seseorang memahami setiap detail dari sesuatu dan seseorang, karena sang ontolog membiarkan seseuatu atau sesorang dan mengamati interaksi sesuatu atau seseorang itu dari waktu ke waktu. Jika diterapkan kepada manusia, maka ontologi tidak lebih dari sebuah gerakan menuju ego, dimana pengetahuan tentang seseorang menjadi sesuatu yang membentuk intensi (maksud) sang ontolog kepada sesuatu atau seseorang. Karena sang ontolog hanya mengetahui apa yang ia amati, ia tidak tahu kalau apa yang ia lakukan terhadap sesuatu dan seseorang akan berakibat apa saja, selain dari yang ia amati. Nah, apa yang ia lakukan itu akan berakibat sesuatu, dan sebenarnya orang itu bertanggung jawab, meskipun dia tidak bermaksud. Inilah kekurangan dari Ontologi Heidegger.
Kedua, Ontologi akan berujung pada totalisasi. Totalisasi artinya, semua yang kita temui bisa kita jadikan milik kita, salah satunya makanan dan minuman. Milik kita menjadi sama dengan kita, seperti roti menjadi sel tubuh kita. Dalam soal relasi dengan sesama, Ontologi menciptakan abstraksi tentang seseorang yang menjadi milik kita. Abstraksi ini bisa salah, bisa benar, tapi bukan itu poinnya. Kalau abstraksi itu kita benci, kita bisa mengkaitkan abstraksi dengan orang yang nyata, sehingga kita membencinya dan menyakitinya, bahkan membunuhnya, seperti Armin yang marah ketika temannya Jean nyaris dibunuh. Dalam situasi itulah, Armin melihat musuhnya sebagai halangan dan bukan manusia.
Ketiga, Levinas menawarkan cara berinteraksi yang lain. Dalam pertemuan antar kita dengan orang lain, orang lain mendapat prioritas atas kebutuhannya melebihi kita sendiri. Ini hanya mungkin kalau kita mendengarkan, berbicara dengan orang lain. Ketika kita berbicara dengan orang lain, kita bisa lepas dari ego kita, misalnya suku kita, orientasi politik, orientasi seksual, status ekonomi kita, dll., dalam sebuah percakapan yang hangat. Dalam percakapan itu, kita bertemu wajah dengan wajah. Wajah artinya, sesuatu yang dikenal dari orang. Perlu dibedakan antara pemahaman dan pengenalan. Pemahaman artinya kita sadar akan segala konsekuensi dari kejadian tertentu, misal “dia begini, sebentar lagi dia akan begitu, karena sebab ini dan itu”. Pengenalan artinya sekedar mengetahui kejadian, “dia begini, dia begitu”. Karena kita kenal akan seseorang, kita tahu dia membutuhkan ini dan itu, dan itulah yang kita penuhi, seperti orang tua yang kenal kalau kamu mudah tersinggung, maka mereka sudah siapkan kata – kata yang lembut.
Perumpamaan Domba yang Hilang
Umat beriman sering digambarkan sebagai binatang domba. Domba adalah hewan ternak yang biasanya taat kepada gembalanya. Ketika mereka mendengar suara gembala mereka, bukan suara orang lain, mereka datang dan mengikuti gembala tersebut. Kisah perumpamaan domba yang hilang persis merupakan ciri khas perumpamaan Yesus yang sering memakai kisah sehari – hari yang melenceng dari kebiasaan (pohon sesawi tidak bisa tumbuh besar, dan hewan ternak yang semaunya adalah kambing, bukan domba). Domba tersebut bukan hanya hilang atau tersesat, tetapi tersangkut di semak berduri tanpa ada yang mengetahuinya. Sang gembala datang pada suara domba yang memanggilnya, dan ia memanggulnya pulang.
“Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang.”
– Matius 18:12-14
Allah menghadap wajah kita, dan ia mengenal setiap orang yang ia ciptakan. Di hadapan Allah yang menjalin relasi antar pribadi dengan kita, tidak ada yang bisa memisahkan diri kita darinya. Dalam keadaan berdosa, kita berpaling darinya, tidak menghadap WajahNya. Ia mencari wajah kita sampai ketemu, dengan mengadakan berbagai berkat dan memanggil nama kita, yang ia lakukan setiap hari. Yang ia minta hanya dua hal: Kasihilah Tuhan dan Manusia.
Siapakah Sesamamu Manusia?
Bukan hanya umat beriman yang mengenal suara Tuhan. Tuhan pun kenal kita semua, semua kelemahan dan kebutuhan kita. Ia sediakan alam untuk dirawat dan dimakan hasilnya. Ia ciptakan sesama kita agar kita bisa saling mengasihi. Ia ciptakan Gereja dengan Roh Kudus agar kita bisa menjalin relasi yang dekat dengan Tuhan. Persis tiga relasi itulah yang sering kita lukai dan kita rusak, karena ego kita terlalu mengikat kita, seperti Armin yang tidak mau Jean mati, sehingga ia membunuh musuhnya dalam amarah.
SobaTanda, manusia adalah gambar dan rupa Allah. Ketika ego kita berkuasa, kita tidak mengenal sesama kita sebagai sesama, sehingga kita melukai orang tersebut, bahkan membunuh. Salah satu cara membunuh orang lain adalah melalui gosip, hoax, dan ujaran kebencian. Karena berita demikian secara artian selalu merupakan abstraksi mengenai seseorang yang bernada negatif, orang akan membenci seseorang yang dibicarakan. Artinya, orang akan disakiti, dibenci, dihina, karena suatu abstraksi. Peduli amat beritanya benar atau tidak, kita telah “merajam” seseorang dalam kebencian.
SobaTanda, yuk, kita kontrol tangan dan mulut kita menjelang 2024! Pemilihan jajaran pemerintahan semakin dekat. Banyak orang yang akan menyebarkan abstraksi yang membuat orang benci dan menghajar pihak – pihak tertentu. Soalnya bukan berita bohong atau benar. Kita terlalu sering melihat mereka sebagai politisi partai ini dan itu, orang baik dan orang jahat, sempurna atau iblis, dan bukan sebagai manusia yang bisa jadi suka makan di tempat makan yang kita datangi kemarin. Kita juga terlalu sering mengira orang lain terlalu bodoh untuk mengerti pemikiran kita. Bukan kebodohan yang menghalangi kita untuk mengerti satu sama lain, melainkan karena kita berusaha untuk paham, sehingga menganggap orang lain sebagai masalah yang ada dan abstrak, bukan manusia yang berhadapan wajah dengan wajah, yang ada di hadapan kita.
Kevin Reiner Hidayat
DAFTAR PUSTAKA
Levinas, Emmanuel, “Is Ontology Fundamental?” dalam Philosophy Today, Vol. 33, no. 2, 1989, https://www.pdcnet.org/philtoday/content/philtoday_1989_0033_0002_0121_0129.
Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity. Terj. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969.