Logo TandaSalib

Mengenal Mendiang Paus Benediktus XVI dan Pemikirannya

Foto Mendiang Paus Benediktus XVI
Foto Mendiang Paus Benediktus XVI (Vatican Media)

Meninggalnya Paus Emeritus Benediktus XVI

Vatican News mengumumkan bahwa Paus Emeritus Benediktus XVI meninggal dunia pada hari Sabtu, 31 Desember 2022, 9:34 (GMT-1). Hingga saat kematiannya, mendiang adalah Paus ke – 265 yang menjabat kedudukan Tahta Suci sejak 19 Februari 2005 sampai ia menyatakan mundur dan menjadi Paus Emeritus pada tanggal 28 Februari 2013. SobaTanda, untuk mengenang dan mengenal mendiang Bapa Suci, mari kita baca salah satu ensiklik yang ia tulis!

Ringkasan Deus Caritas Est

(Diringkas dari versi terjemahan Dokpen KWI)

Allah adalah Kasih. Kita memilih menjadi Kristen, karena kita telah berjumpa dengan Kasih secara pribadi. Allah bukan seorang pribadi yang terkait dengan kekerasan, balas dendam, bahkan kebencian, seperti yang dipegang beberapa orang di dunia. Sayangnya, kata Kasih telah kabur maknanya. Mari kita mengingat makna Kasih yang beragam, dan bertanya kalau semua bentuk kasih ini satu, atau berbeda satu sama lain.

***

Bagian Pertama: Kesatuan Kasih dalam Tata Penciptaan dan Sejarah Keselamatan

Ada anggapan bahwa kasih seksual (Eros) dihalangi oleh Gereja dengan mengangkat kasih tak bersyarat (Agape), seperti anggapan Friedrich Nietzsche. Bentuk – bentuk pengangkatan kasih seksual, seperti pelacuran suci yang dilakukan oleh agama – agama kuno, ditentang Gereja, karena potensi kenikmatan sesaat yang bisa menghancurkan dan menjatuhkan manusia. Sebuah pemurnian perlu dilakukan agar Eros membawa kebahagiaan bagi manusia.

“… kasih sedikit banyak berkaitan dengan yang ilahi.” Ketika manusia mengasihi, ia secara keseluruhan, dan bukan hanya tubuhnya, mengasihi. Saat ini (ketika ensiklik ditulis), kasih Eros dilecehkan sebagai seks badani semata, sehingga manusia dengan cepat membenci tubuh. Dalam Kidung Agung, diduga merupakan nyanyian pesta perkawinan Israel, ada sebuah istilah, Dodim, yang diterjemahkan sebagai Agape dalam bahasa Yunani. Artinya, sifat egois dalam kasih Eros perlu diatasi, sehingga dalam cinta, manusia menemukan Allah dan berbuah seperti setelah ia berkorban (disalib).

Ada yang berpendapat bahwa kasih Kristiani, Agape, menurun dan memberi, sedangkan kasih dunia, Eros, menaik dan mengingini. Ternyata dua kasih ini tidak dapat dipisahkan. Kisah Yakub di Betel dilihat para Bapa Gereja (murid – murid dari para rasul) sebagai gambaran dari kesatuan keduanya. Paus Gregorius melihat hubungan antara kontemplasi dan memimpin umat. Ketika para gembala gereja berkontemplasi dan naik kepada Allah, ia perlu turun lagi dan merasakan penderitaan umat, dan inilah hal yang menunjukkan bahwa kedua bentuk kasih diperlukan dalam hidup Kristen.

***

Pandangan berbagai bangsa kuno tentang Tuhan berbeda – beda, termasuk dalam filsafat Yunani. Filsuf Aristoteles berpikir tentang Allah sebagai penggerak dunia yang tidak mengasihi, melainkan dikasihi. Hal ini berlainan dengan Allah orang Israel yang mengasihi. Relasi kasih ini digambarkan Hosea dan Yehezkiel seperti relasi perkawinan, sedangkan penyembahan berhala digambarkan seperti zinah. Meski manusia menyembah berhala dan meninggalkan Allah, Allah tidak membiarkan keadilanNya menghukum manusia terus – menerus, melainkan keadilanNya dilawan oleh kasihNya sendiri.

Allah adalah Pencipta sekaligus Pengasih. Dengan itu kasih Agape dan Eros menyatu. Manusia yang diciptakan Allah ternyata juga lengkap, utuh, kalau ia bersatu dengan yang lain (lelaki dan perempuan). Eros tertanam dalam diri manusia, yang nampak pada pencarian manusia akan pasangan hidup. Kesatuan perkawinan yang permanen menggambarkan kasih Tuhan yang tetap.

***

Pengorbanan Allah di kayu salib menyatakan bahwa Allah adalah Kasih. Penetapan Ekaristi adalah cara untuk melestarikan tindakan penyerahan diri ini. Manusia disatukan dengan Tuhan, dan ia memiliki Tuhan bersama – sama dengan orang lain. Setiap orang yang membutuhkan kita adalah sesama. Kasih kepada sesama ini dilebur Tuhan dengan kasih kepada Tuhan dalam perkataannya, “ketika aku haus….”

Mengasihi Allah yang tidak terlihat nampak sulit, apalagi kalau diperintahkan. Ternyata, kasih terhadap sesama adalah jalan kepada kasih terhadap Allah. Apalagi, Allah duluan mengasihi kita melalui Kristus. Jelas, kasih dinyatakan bukan sebagai sekedar perasaan melalui perjumpaan kita dengan Kristus, dan perjumpaan ini membuat perintah dilaksanakan dari dalam diri manusia yang berjumpa dengan Allah.

***

Bagian Kedua: Karya Kasih Gereja sebagai “Persekutuan Kasih”

Kasih Allah menyingkap Tritunggal Mahakudus; khususnya, Roh Kudus menggerakkan Gereja untuk bersaksi tentang Allah sebagai tindakan kasih. Karya Kasih adalah tugas Gereja. Dalam melakukan tugas ini, orang Kristen butuh struktur. Dalam struktur ini, tidak boleh ada orang yang melarat. Diakonia, pelayanan kasih bersama yang teratur, berakar dalam struktur Gereja. “Melaksanakan kasih bagi para janda dan yatim-piatu, para tahanan, orang-orang sakit dan para penderita kekurangan apa saja…” adalah bagian dari hakikat Gereja. Berbagai tokoh dalam sejarah Gereja menunjukkan bahwa pelayanan kasih “sudah sebelumnya dan sejak semula termasuk hakikat Gereja Roma”. Seorang Kaisar yang memusuhi orang Kristen secara tidak langsung menyatakan bahwa ciri khas orang Kristen adalah pelayanan kasih. Pelayanan kasih (diakonia) ini kemudian terkait dengan pewartaan sabda (kerygma – martyria) dan pelayanan sakramen (liturgia).

Marxisme (bentuk awal Komunisme) menentang karya kasih dan mengkritiknya, sebagai tipuan agar orang tetap berkuasa, peredam hati nurani, dan agar tidak usah berbuat adil. Tujuan Marxisme adalah menciptakan tatanan yang adil. Masalah keadilan dijawab oleh Gereja melalui arahan – arahan dalam Ajaran Sosial Gereja.

Tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil merupakan tugas sentral politik. Perlu diingat: Negara dan Gereja menghormati wilayahnya masing – masing. Keadilan adalah tujuan dan karena itu juga merupakan tolok ukur segala politik. Iman menerangi pikiran agar politik dilaksanakan dengan lebih baik. Ajaran Sosial Gereja bergulat di tingkat akal budi itu agar bisa diterima semua orang. Gereja (hierarki) tidak boleh tidak peduli, namun juga tidak ikut campur dengan politik; tetapi dalam negara yang adil sekalipun, tetap diperlukan pelayanan kasih yang spontan sebagai bagian dari kemanusiaan manusia.

Gereja adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak boleh ada orang yang menderita kekurangan. Caritas – Agape” melampaui batas-batas Gereja: Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati tetap merupakan tolok-ukur, memerintahkan universalitas kasih, yang memperhatikan orang yang menderita kekurangan, yang “kebetulan” (bdk. Luk 10: 31) dijumpai, siapa pun dia.” Keadilan adalah tugas negara. Gereja bertugas untuk “memurnikan akal budi dan membangkitkan kekuatan moral yang diperlukan…”. Kaum awamlah yang terlibat langsung dalam perwujudan keadilan itu. Pelayanan kasih hendaknya menjiwai kaum awam dalam tugasnya sebagai warga negara. Semua itu diadakan karena kebutuhan manusia akan keadilan dan kasih.

Beberapa hal perlu disorot. Sarana komunikasi yang cepat memungkinkan sekaligus menuntut karya karitatif yang menjangkau semua orang dengan kesulitannya. Sarana untuk menjangkau mereka juga sudah ada, dan aksi solidaritas bisa dilakukan secara bersama. Dalam karya solidaritas, Gereja dan negara bisa bertemu, dan karya itu mendidik anak muda dalam “sekolah kehidupan”. Gereja Katolik dengan “Gereja – gereja lain” dan “persekutuan gerejawi” pun mampu mengadakan evangelisasi dan karya karitatif dalam satu paduan, suatu hal yang membawa sukacita akan harapan bahwa hal ini akan mendapat “gema luas”.

***

Manusia memiliki tuntutan dari dalam untuk mengasihi sesama, dan Gereja membangkitkan tuntutan “yang sering digelapkan” ini. Ada tiga hal: Ada karya untuk mencukupi orang yang menderita kekurangan. Dalam melaksanakan karya ini, tidak boleh masuk unsur partai dan ideologi, di antaranya Marxisme yang menyerang karya kasih yang mendukung sistem. Karya kasih juga bukan upaya konversi (proselit). Seorang Kristen “tahu kapan waktunya berbicara tentang Allah dan kapan waktunya, diam tentang Dia dan membiarkan kasih berbicara.”

Karya karitatif telah dinyatakan sebagai bagian dari karya Gereja sebagai Gereja, dan para Uskup diharapkan terlibat dalam karya tersebut. Karya ini tidak mengacu pada “ideologi memperbaiki dunia”, melainkan “dituntun iman, yang efektif dalam kasih”, didorong kasih Kristus sendiri. Kehadiran orang Katolik yang berkarya menjadi penting, agar orang tidak direndahkan. Pengabdian demikian, mengingat Kristus juga tidak meninggikan diri, membuat orang menjadi rendah hati. Kekurangan yang amat sangat hendaknya tidak membuat kita jatuh pada ideologi yang menganggap kita menggantikan peran Tuhan yang tidak melakukan apa – apa atau pada kemalasan. Dalam doa, “keakraban dengan Allah pribadi dan penyerahan kepada kehendak-Nya mencegah, agar manusia jangan dirugikan, dan menjaganya
terhadap jerat ajaran fanatik dan teroristis.” Diamnya Allah di hadapan penderitaan hendaknya disikapi dengan tetap percaya pada Tuhan di hadapan ketidakmengertian. Iman, pengharapan dan kasih dalam kesatuannya membuat kita tahu bahwa “Ia adalah cahaya – pada akhirnya satu-satunya – yang setiap kali menerangi dunia yang gelap dan memberi kepada kita keberanian untuk hidup dan bertindak.”

***

Para Kudus memberi teladan dalam mewujudkan kasih. Maria adalah teladan paling utama, dalam pelayanan kepada Elisabet, pengagungannya kepada Allah, penghambaannya kepada Tuhan, keakrabannya dengan Sabda Allah, kasihnya kepada semua orang dalam karya Tuhan, kesetiaannya di kaki salib, dan kehadirannya saat Pentakosta. Ia dan para kudus tetap bekerja setelah mereka berangkat ke Surga, ia sebagai ibu semua orang beriman, menunjukkan arti kasih dan menunjuk pada asalnya, kepadanya Gereja dipercayakan.

***

Melihat Lebih Dekat

Teks asli terbit pada tanggal 25 Desember 2005, hari Natal. Hal ini merupakan kebiasaan para Paus untuk menerbitkan tulisan mereka di hari peringatan atau hari raya tertentu, dan bisa dibaca sebagai pengkaitan isi teks pada Kristus yang lahir ke dunia. Dalam teks Dokpen, frasa “surat pertama Yohanes” ditulis miring. Dalam kitab 1 Yohanes, ada indikasi bahwa ajaran Kristen, termasuk “Allah adalah Kasih” (1Yoh 4:6) yang merupakan pusat iman Kristiani, sedang diserang oleh pihak tertentu, dan karena itu ada orang yang meninggalkan persatuan dengan Gereja. Dengan kata lain, Benediktus XVI menulis Deus Caritas Est dalam rangka menghadapi situasi yang serupa.

Sama seperti pada saat Yohanes berbicara, Allah bukan lagi terang bagi banyak orang. Ajaran tentang dosa tidak lagi dipercaya. Kristus tidak lagi dipahami sebagai pengantara kita dengan Allah. Tanpa kesatuan dalam Kristus, orang tidak merasa bersalah kalau mereka membenci orang lain. Untuk membenarkan kebencian, ada orang yang mengajar bahwa Yesus bukan Kristus. Orang berpikir bahwa orang Kristen bukan Anak – Anak Allah. Tidak ada hidup baru bagi mereka, dan Kasih tidak diperlukan. Semua hal itu membuat orang takut mendekat pada Allah. Orang yang jauh dari Allah gampang ditipu roh selain Roh Kudus. Orang harus mengenal Roh Kudus dari laku Kasih. Siapa yang melakukannya beriman dan mampu mengalahkan semua gerakan tersebut. Mereka bersaksi tentang Allah Tritunggal. Mereka tahu hidup yang kekal. Selain dari mereka, orang itu tidak berasal dari Allah, dan mengikuti berhala.

Kevin Reiner Hidayat

DAFTAR PUSTAKA

Dokpen KWI, “Deus Caritas Est”, http://www.dokpenkwi.org/wp-content/uploads/2022/01/e-Book-DG-83-DEUS-CARITAS-EST.pdf, diakses tanggal 31 Desember 2022, 17:51.

The Holy See, https://www.vatican.va/content/vatican/en/holy-father/benedetto-xvi.html, diakses tanggal 31 Desember 2022, 17:43:43.

Vatican News, “Farewell to Benedict XVI: ‘Humble worker in the vineyard of the Lord'”, https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2022-12/pope-emeritus-benedict-xvi-dies-aged-95.html, diakses tanggal 31 Desember 2022, 17:39:26.