Logo TandaSalib

Putus Asa? Mari Belajar dari Kegagalan Para Filsuf

Despair, Edvard Munch. Sumber: WikiArt.

Keputusasaan Dalam Hidup Sehari – Hari

Suatu hari, aku sedang mengerjakan teks skripsi milikku. Aku merasa bahwa aku telah mengerjakannya secara baik. Tiba – tiba saja, aku merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Aku memeriksa teks itu lagi, dan ternyata suatu bagian salah pengartian. Ternyata, ada bagian dari skripsiku yang harus diulang lagi. Aku merasa putus asa. SobaTanda, pernahkah SobaTanda merasa ada rasa putus asa? Jika demikian, tenanglah. SobaTanda bukan satu – satunya, Sobat tidak sendirian.

Keputusasaan Dalam Psikologi

Dalam APA Dictionary of Psychology, dijelaskan bahwa putus asa adalah saat orang mengalami “emosi atau perasaan akan tiadanya harapan, bahwa segala sesuatu secara mendasar salah, dan bahwa tidak akan ada perubahan berarti menuju kebaikan. Keputusasaan adalah suatu perasaan yang paling negatif dan paling berefek pada kehancuran perasaan dan perilaku manusia, dan karena itu menjadi satu bidang yang penting dalam campur tangan psikoterapi.” Ketika aku merasa putus asa, aku berpikir bahwa segala sesuatu akan gagal, segala sesuatu akan sia – sia. Perasaan inilah yang membuat aku merasa emosi, merasa bahwa tidak ada yang mendengar aku, dan merasa bahwa dasar pemikiran tokoh yang kupilih sebagai bahan telaah sekedar ngawur. Aku merasa bahwa dia ngawur. Ini adalah sebuah contoh bunuh diri intelektual, suatu hal yang kupelajari di kelas filsafat dulu, tetapi arah teks ini bukan ke situ.

Keputusasaan Masyarakat Pada Umumnya

Kita, umat manusia, sedang hidup dalam abad postmodern; Itu sebuah fakta yang jelas. Orang postmodern (anggaplah 1900-) melihat bahwa ideal abad modern (anggaplah 1500-1900) yang terpaku pada pencerahan budi telah gagal. Semua orang bisa dan telah menjadi pintar, namun kepintaran tersebut tidak membawa hal – hal yang membahagiakan, malah datang Perang Dunia I dan II. Tentu mereka kecewa. Kekecewaan inilah yang sangat terasa dalam komunitas – komunitas masyarakat yang hidup di jaman dimana pabrik daging sapi menjamur, namun manusia layu. Pada awalnya, manusia mencoba mengangkat harkat dan martabatnya, dan ada hasilnya, seperti Hak Asasi Manusia, politik demokrasi, dan Ilmu Pengetahuan Alam serta Sosial. Semua berakhir dalam perang demi perang: Perang Kristen dan Protestan, Perang kolonialisme Eropa di Afrika dan Asia, Perang Saudara di Amerika. Manusia menjadi manusia yang skeptis dan putus asa akan segala sesuatu, dan perlahan mereka mencari jalannya sendiri, mereka mencari cara yang diada – adakan untuk menjadi bahagia.

Sabda Tuhan Berbicara

“Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (Ams 14:12). Demikian, pencarian manusia postmodern akan kebahagiaan. Ada orang yang mencarinya dalam narkoba, ada yang mencarinya dalam seks bebas, ada yang mencarinya dalam pesta demi pesta yang tidak pernah selesai. Aku mencarinya dalam imajinasiku sendiri, aku membayangkan mimpi indah, skripsiku selesai, diberi pujian, tapi sayang… itu semua mimpi, dan aku harus kembali pada kesulitan di depan mata… berusaha membaca banyak buku, tetapi semua pengetahuanku malah membuatku sombong. Inilah tugasku: Memperingatkan kita semua agar tidak memasuki jalan yang sama menuju keputusasaan.

St. Theresia Dari Kanak – Kanak Yesus dan Tumbuh Dewasa

St. Theresia menceritakan kisah ini dalam diarinya:

Ayah dulu senang melihatku bahagia dan bersorak kegirangan ketika aku membuka kado dari sepatu (kaus kaki Santa), dan kebahagiaannya membuatku bahagia juga. Tapi saatnya Yesus menyembuhkan aku dari kekanak – kanakkanku, dan kesenangan masa kecil harus berlalu. Ia mengijinkan ayah kesal tahun ini, dan alih – alih memanjakan aku, ia berkata, “Theresia harusnya sudah besar dan sudah lewat masanya (menerima hadiah Santa), aku berharap ini terakhir kalinya”. Aku merasa mau menangis, dan Celine (kakaknya) yang mengetahui sensitifnya diriku, berbisik: “Jangan turun dulu, nanti kamu menangis saat membuka hadiah di depan ayah.” Tapi aku bukan Theresia yang dulu, Yesus telah mengubahku dengan sempurna. Aku menahan air mataku, mencegah jantungku berdetak cepat, dan lari ke ruang makan. Aku mengambil sepatuku, membuka hadiahku, dan terlihat bahagia seperti seorang ratu. Ayah jadi tidak kesal lagi, dan Celine menyangka ia bermimpi. Ia tidak bermimpi. Kekuatan pikiran Theresia yang hilang sejak umur empat setengah tahun telah kembali.

Story of A Soul, Theresia Dari Lisieux, ed. Suster Agnes dari Yesus

Memang demikian hidup rohani, sama seperti hidup fisik. Semua orang harus tumbuh dewasa, St. Theresia adalah contoh yang cukup sempurna, ia bisa tumbuh dewasa dari kekanak – kanakkannya, suka berpikir negatif, suka menangis kalau tidak mendapatkan apa yang ia mau, menjadi santa yang diakui seluruh dunia. Orang abad Modern sering berkata, “Saatnya kita tumbuh dewasa dari masa kanak – kanak filsafat Kuno (Yunani) dan Abad Pertengahan, dan menuju kedewasaan di dunia modern”. Pertanyaannya, benarkah filsafat Yunani dan Abad Pertengahan filsafat kanak – kanak? Bukankah orang Abad Modern kekanak – kanakkan ketika mereka merasa mereka bisa tumbuh dari agama dan berbuah di filsafat? Agama adalah akar dari banyak sekali peradaban. Sulit sekali kalau kita mau hidup lepas dari akar, sama seperti pohon tidak bisa hidup tanpa akar! Kedukaan orang postmodern adalah buktinya, kita banyak mengadakan produksi menakjubkan, tetapi terlepas dari agama dan budaya, kita kehilangan arti hidup, sehingga kita harus membaca hidup kita, kebenaran, nilai dan etika, bahkan Kitab Suci secara baru di tengah peziarahan kita – ya, kembali ke agama yang kita tinggalkan!

Yuk, Kita Mengasihi Dalam Tuhan!

Kasih itu abadi (1Kor 13:8), kasih bertahan ketika semua telah terpenuhi, karena Allah saja tetap, dan Allah adalah kasih (1Yoh 4:16). Di masa Postmodern ini, iman banyak umat mengalami disorientasi karena dunia berubah begitu cepat. Harapan – harapan akan hidup yang layak ada banyak yang pupus karena kurangnya kebijaksanaan pemangku kebijakan dan tokoh ekonomi. Di saat seperti ini, mari mengasihi. Itulah legacy, warisan orang Kristen yang tidak akan pernah hilang di tengah abad kehilangan ini: Kehilangan semangat, menjadi semangat karena kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Jenkins, Keith. The Postmodern History Reader. New York: Routledge, 1997.

Sim, Stuart. The Routledge Companion to Postmodernism. New York: Routledge, 2001.

VandenBos, Gary R. APA Dictionary of Psychology. Washington, DC: American Psychological Association, 2007.

Therese of Lisieux. The Story of A Soul. Diedit oleh Sr. Agnes dari Yesus. Charlotte: Saint Benedict Press, 2010.