Logo TandaSalib

“The Last of Us”, Suara Hati, dan Utilitarianisme

Christine Hakim dalam film berseri The Last of Us. Sumber: Liputan6.com.

Cordyceps vs. Kemanusiaan

Serial HBO “The Last of Us” menceritakan perjuangan segelintir manusia yang selamat dari pandemi jamur cordyceps, yang memasuki tubuh manusia, mengendalikan jaringan otaknya, dan membuat manusia menjadi zombie yang menyebarkan jamur tersebut kepada manusia lain melalui luka gigitan. Salah satu tempat dimana infeksi jamur tersebut pertama kali terjadi ada di sebuah pabrik tepung di sebelah barat Jakarta, dimana seorang buruh pabrik tersebut menjadi gila dan memaksa seorang polisi yang datang kemudian untuk menembaknya sampai mati. Christine Hakim, seorang aktor ternama, menjadi pemeran dari Ratna, seorang profesor di bidang Mycology (studi tentang jamur). Setelah memeriksa sampel dari seorang manusia, ia memeriksa manusia yang menjadi sumber sampel, melihat sendiri jamur yang menyerang perempuan buruh pabrik itu, dan lari ketakutan. Di akhir pembuka episode kedua tersebut, ia tahu bahwa vektor pertama dari jamur itu masih berkeliaran, dan bahwa tidak ada obat atau vaksin untuk menangkal jamur tersebut, sehingga satu – satunya jalan keluar yang ia tawarkan kepada seorang jendral TNI adalah strategi bumi hangus dengan penggunaan bom. Masalah infeksi jamur yang berada di ranah biologis, dan strategi pertahanan negara yang berada di ranah militer, ternyata beririsan dengan ranah etika dan agama!

Analisis Psikologi dari Tokoh Ratna

Ratna mengucapkan kata “Bom” dengan otoritas yang kuat dan impresif. Tiba – tiba, ia merasa ketakutan. Ratna yang memiliki otoritas dan membekas di jiwa hilang, digantikan Ratna yang ketakutan seperti anak – anak. Dalam psikologi kepribadian Freud, hal ini menandakan adanya regresi. Seorang pribadi bisa kembali ke masa lalunya dengan semua sifatnya, karena semua hal yang ia alami dalam jiwanya menghasilkan terlalu banyak kegelisahan baginya. Ratna merasa bersalah, ia tahu itu. Ia lari dari rasa takut itu.

Unsur Suara Hati dan Utilitarianisme

Dalam Etika Dasar, F. Magnis-Suseno menjelaskan dasar – dasar pendidikan suara hati: Manusia perlu titik pangkal moral. Tanpa mengejar keuntungan sendiri, bebas dari paksaan dan tekanan, serta tidak berat sebelah. Seorang yang mau memiliki suara hati yang jernih juga perlu memiliki maksud lurus, pengendalian emosi, dan pemurnian hati. Ratna berada dalam tekanan dan emosi yang terganggu, karena itu ia memilih keputusan untuk “bom” Jakarta. Inilah penyebab mengapa ia gelisah dan mengalami regresi psikologis. Nampaknya, Ratna mengikuti sebuah jalur etika lain yang sering mengundang perdebatan begitu disebut namanya. “Utilitarian”? Pasti mau memakai orang, ya? Bukan, melainkan merujuk pada

“keadaan yang bebas dari rasa sakit sedapat mungkin, dan sedapat mungkin pula dipenuhi rasa kegembiraan…. dengan sendirinya menjadi standar moralitas juga…. Dengan menaati kaidah atau aturan itu, suatu keadaan… bisa dijamin… untuk bangsa manusia, … bahkan bagi seluruh wilayah ciptaan.”

Segala cara boleh dilakukan kalau keadaan gembira tanpa rasa sakit bisa diperoleh untuk seluruh bangsa manusia. Apa yang dikatakan para penganjur etika macam ini kalau ada sebagian orang yang harus menderita?

“Kebahagiaan yang merupakan ukuran dasar dari para pengikut utilitarianis menyangkut apa yang benar dalam perilaku bukanlah kebahagiaan si pelaku sendiri, melainkan semua orang yang terlibat. Menyangkut kebahagiaan dirinya atau yang lain, Utilitarianisme menuntut orang untuk bersikap keras, tidak pilih kasih, berlaku seperti penonton yang baik hati dan tidak pamrih.”

Dengan demikian, kebahagiaan semua orang yang akan terkena jamur Cordyceps tersangkut dalam usulan Ratna untuk mengebom sebagian kota Jakarta dan sekitarnya. Kalau orang yang terkena jamur sudah menyebarkan jamurnya kepada banyak orang, nyawa jutaan orang di Jakarta menjadi taruhannya. Mereka tidak akan bisa hidup bahagia lagi, demikian juga seluruh dunia. Benarkah tidak ada pilihan lain bagi mereka?

Solusi yang Mungkin dan yang Tidak Dapat Dimungkinkan

Solusi – solusi bisa dibayangkan. Karena Cordyceps sebagai jamur menyebar melalui spora, orang bisa memakai masker. Sebagian daerah sekitar pabrik tepung bisa diisolasi dan diperiksa. Dengan langkah – langkah preventif, bencana bisa dihindari. Bagaimana kalau tidak terhindarkan? Benarkah pilihan untuk menurunkan bom? Uniknya, Deontologi Kant dan Utilitarianisme sepakat dalam satu hal:

“Terhadap diri sendiri, terhadap badan dan budinya, individu mempunyai kedaulatan.” (On Liberty, John Stuart Mill)

“Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan… sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana.” (Foundations of the Metaphysics of Morals, Immanuel Kant)

Keduanya mengakui bahwa kemanusiaan harus dilindungi, namun etika Deontologis unggul di dalam kasus ini. Mengebom Jakarta menjadikan manusia sakit sebagai benda yang penghancurannya menjadi sarana bagi keselamatan banyak orang. Korban yang tidak bersalah akan terlalu banyak, dan mereka tidak pernah punya suara atas kematian mereka. Inilah sebuah problem yang dipacu oleh kisah jamur Cordyceps, yang katanya ternyata tidak bisa menular ke manusia akibat jalur evolusi yang lamban, memakan jutaan tahun hanya untuk bisa menular ke semut, sehingga kita sulit menentukan pilihan.

Daftar Pustaka:

Feist, J. Theories of personality. Washington, DC: Harcourt Brace College Publishers, 1994.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 1987.

Rachels, James. Filsafat Moral. Diterjemahkan oleh A. Sudiarja. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2004.