Sadis!… Ya Kan?
SobaTanda, akhir – akhir ini banyak kasus yang mencoreng nama orang tua. Ada seorang ayah yang melakukan tindakan hubungan seksual sedarah/incest dengan anaknya sendiri. Dalam laporan Kumparan, ayah tersebut ditangkap di daerah Purwokerto selatan. Menurut laporan Tribunnews, anak – anak hasil hubungan tersebut dibunuh ketika sudah lahir, lalu dikubur. Reaksi Netizen, kayak biasa, lebih dari negatif. Kalau ada meteran untuk reaksi mereka, hasilnya sudah melewati batas bawah.
Ada lagi satu kasus di Bukittinggi. Seorang ibu diduga bersetubuh dengan anak lelakinya sejak SMA sampai umur 28 tahun. Kasus ini masih kontroversial, karena tempatnya di Sumbar, yang dikenal religius, sehingga kasus ini dan kasus serupa cenderung ditutupi dan pengungkapannya ditentang. Pelapor, Erman Safar, dituduh balik oleh EY, terduga, dan sedang dikawal oleh LBH Apik.
SobaTanda, mestinya hal tersebut bisa dihindari. Karena bapak dan ibu di atas menyeleweng dari apa yang lurus pikir, dan tidak menjaga nafsunya, hal itu bisa terjadi. Seperti yang Kak Andre (pendiri TandaSalib) pernah bilang, pasti orang itu punya sesuatu di bawah sadarnya. Mungkin dia nonton bokep, terus ketanem di pikiran bawah sadar, berubah menjadi dorongan id, terus tanpa berpikir panjang dia melakukan hubungan terlarang. Lebih lanjut, menurut Psikolog Veronica Adesla:
… dalam kasus inses antara orang tua dan anak yang sudah beranjak dewasa (adult child), lebih banyak dibahas mengenai emotional incest. Ini terjadi orang tua menjadikan anak sebagai sumber pemenuhan kebutuhan emosional yang tidak didapatkannya dari pasangannya. Ada kebergantungan emosional yang tidak sehat kepada anak untuk mendapatkan perasaan nyaman, senang, lega, tidak sendirian, didukung, dan sebagainya.
Bilal Ramadhan, Republika.com, “Heboh Kasus Inses Ibu dan Anak di Bukittinggi, Ini Kata Psikolog” https://news.republika.co.id/berita/rwpc4i330/heboh-kasus-inses-ibu-dan-anak-di-bukittinggi-ini-kata-psikolog
SobaTanda, dengan problem yang tertulis di atas, bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Mungkin SobaTanda berpikir, “Kok harganya anak itu rendah banget? Kayak gak ada! Orang kayak gitu pantes dihabisi gak, sih? Kan perasaan satu negeri terluka! Yang gak ngerasa hal yang sama, kayaknya sama aja deh, soalnya dia setuju!”
Aku mau membahas problem yang sebenarnya agak nyerempet filsafat dikit. Semangat, ya! Beli kopi manis, atau teh anget, dan siap – siap berkelana bersamaku di tengah pusaran air bernama Friedrich Nietzsche dan beberapa filsuf lain. Buah akhirnya manis!
Nietzsche, Williams, dan Tingkat – Tingkatan Nilai
Ada seorang ahli filsafat bernama Linda L. Williams. Dalam Nietzsche, ada sebuah ide yang namanya Kekembalian Yang Sama Secara Abadi. Ribet, sih, tapi bayangannya Nietzsche itu seperti seseorang yang ditawarin setan untuk mengulang hidupnya berulang kali. Tapi, namanya juga setan, dia ngasih harga untuk kekuatannya. Setiap kali kita mengulang hidup kita, kita nggak bisa mengubah hal apapun dalam hidup kita. Jadi, sebenarnya ini sebuah kutukan, dimana kita mengulang hidup yang sama, kesalahan yang sama, dan hal – hal yang kita mau ubah, tapi gak bisa. Tujuan Nietzsche ngomong gini sederhana: Jika kita serius mikirin hal ini, maka kita bisa sadar, apa sih nilai – nilai yang kita mau ubah dalam hidup kita? Bayangin, berkali – kali jatuh dalam kesalahan dan dosa yang sama!
Linda L. Williams maju lebih jauh. Dia bilang, kalau kita bisa menaruh nilai – nilai kita dalam skala. Bahkan, nilai orang lain juga bisa. Yang jelas, ada nilai – nilai yang mendukung hidup, yaitu nilai – nilai yang mendukung dorongan hidup manusia, Kehendak Kuasa. Apa itu? Nilai – nilai yang bikin sadar orang kalau hidup itu perlu bisa move on dan belajar, yang mengajak orang untuk nggak larut dalam penyesalan, yang tidak keukeuh memegang satu nilai, yang berani nyakitin orang lain demi perubahan orang kepada hal yang lebih baik. Nilai yang gitu lebih tinggi dari nilai – nilai yang memabukkan orang, yang menarik orang menjadi terpuruk, pusing, dan lain – lain. Jadi, gak semua hal bernilai itu sama bagi orang ke orang.
Setiap tingkatan nilai orang beda. Soalnya, konteks setiap orang beda. Makanya, harga sayur bisa lebih mahal daripada daging di Singapura, soalnya dapetnya susah. Lain kalau di Indonesia, yang kalau mau pisang bisa metik di tanah kosong. Itu berarti, setiap nilai akan masuk kepada tingkat tertentu bagi seseorang. Tingkatannya gak sama bagi setiap orang. Dan dengan nilai itu, orang akan menjalankan hidup, mengukur semua orang dengan nilai yang berbeda – beda.
Nilai dan Harga Seseorang
SobaTanda, kalau kita lihat netizen, ada komentar seperti, “Semoga didalam penjara nya disiksa oleh napi napi yang lain” -@dudulcool356 (ini copas dari Youtube Tribunnews, link ada di daftar pustaka). Ini berarti, di mata orang lain, harga orang ini udah murah, bahkan mungkin beberapa orang akan bilang, “darahnya halal”. Implikasi kata – kata ini adalah, karena dia lebih menghargai nilai seks daripada anaknya sendiri, maka harganya sendiri jeblok di penilaian orang. Itu berarti, nilai seks di mata orang rendah, dan harga seseorang sama dengan nilai yang ia pegang.
SobaTanda, ini adalah sebuah problem. Bayangkan, nilai yang seseorang pegang sama dengan harganya. Itu berarti, nilai orang jahat kecil, dan nilai orang baik tinggi, karena jahat biasanya diasosiasikan dengan nilai yang dianggap rendah, dan baik biasanya diasosiasikan dengan nilai yang dianggap tinggi. Seorang filsuf, namanya Plato, menulis cerita Sokrates melalui kacamata yang bertentangan:
…the life which is unexamined is not worth living…
Plato, “Apology”, terj. Benjamin Jowett, https://classics.mit.edu/Plato/apology.html.
Hidup yang direfleksikan berarti hidup yang disesuaikan dengan nilai – nilai yang kita pegang. Orang Yunani di masa lalu tidak hidup sesuai dengan nilai – nilainya sendiri. Mereka bahkan lebih percaya pada pembohong daripada orang jujur. Hal itu dikritik Plato melalui Sokrates dalam buku – bukunya. Jika kita tidak pernah memeriksa tindakan – tindakan kita yang melawan nilai, kita tidak pernah bisa memperbaiki hidup kita. Nilai yang dipegang Plato antara lain baik, indah, dan benar. Itu berarti, yang baik itu layak, yang indah itu layak, yang benar itu layak.
Nietzsche maju lebih jauh dan mempertanyakan nilai yang kita pegang. Baginya, nilai bisa diganti agar sesuai dengan perkembangan waktu. Ada hal – hal yang sudah tidak layak untuk dihargai, karena kalau dipikir – pikir, ternyata nilai kita membuat kita rendah dan hina, atau mendorong kita untuk berbuat salah. Kebenaran – kebenaran, kebaikan – kebaikan, dan keindahan – keindahan kita berujung pada perang, politik kotor, penjara yang penuh siksaan, dan lain – lain. Konsekuensinya, ia menyatakan bahwa tidak semua nilai sama bernilainya. SobaTanda, di sini aku menemui masalah.
Sokrates mengumpamakan dirinya seperti seekor nyamuk yang menggigit binatang (gadfly). Ia seperti suara hati kolektif orang Atena yang mengganggu mereka yang berbuat jahat. Itu berarti, Sokrates menganggap bahwa pemeriksaan diri itu baik. Itu juga berarti, Sokrates menaruh harga pada perbuatan. Ia rela menjadi miskin dan bersusah – payah untuk mengubah sikap orang Atena. Ia bahkan khawatir kalau orang Atena yang mulia diejek, seakan mereka perempuan (di masa lalu, perempuan dianggap rendah oleh berbagai kebudayaan. Ini bukan posisi penulis). Lain dengan Nietzsche. Ia membawa permasalahan ke ranah subjektif. Nilai seseorang menentukan nilai hidup orang. Ini menimbulkan problem, sebab meski nilai objektif, seperti baik dan buruknya sebuah perbuatan, atau nilai emas dan uang itu perlu dan berguna, tidak demikian nilai subjektif! Nilai subjektif berarti orang jahat boleh dijadikan budak, boleh dibantai tanpa pengadilan, boleh disodomi di penjara, seperti yang sering ditemukan di Indonesia! Sementara itu, orang baik selalu ketakutan kalau mereka melakukan kesalahan yang mengubah mereka menjadi jahat. Jika orang mengkaitkan pengalaman akan hal – hal tersebut kepada iman, pengalaman itu bisa menjadi sumber trauma yang membuat orang menolak iman!
Ada keberatan yang mungkin muncul. “Kita bisa mencegah perbudakan, soalnya perbudakan membuat diri kita menjadi jahat juga seperti mereka”. Itu berarti kita meninggikan diri, kan? Kita menganggap diri kita lebih baik dari orang lain. Kita tidak mau menaruh diri kita selevel dengan mereka! Ini juga berarti kita menjadi mudah sombong, dan mudah jijik dengan orang lain. Ya kan?
Terus Gimana Dong?
Ada sebuah ayat, “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1Yoh 4:18). Tidak mungkin kita terus – terusan melakukan penghakiman ilahi yang menimbulkan rasa takut, sementara Sang Ilahi itu melenyapkan ketakutan. Jika Kasih itu baik, lalu kenapa? Bagiku, ya jadi patokan untuk membantu kita berpikir dan berlaku. Satu hal yang aku temukan dalam Alkitab (Lukas 15:11-32) adalah refleksi tentang Kasih. Seorang anak yang boros dan durhaka kepada ayahnya langsung disambut di tengah jalan oleh Bapa yang Baik. Ini anak udah jahat banget pokoknya, pake huruf kapital dan dikasih underline. Kok masih dihargai, bahkan dikasih baju yang mahal dan cincin? Jawabannya, harganya bukan diukur di nilai yang ia pegang (so pasti ia menganggap dirinya rendah. Dia bahkan gak yakin kalau bapaknya mau menjadikan dia hamba), atau apakah ia menghargai ayahnya secara benar atau nggak setelah itu. Nilai itu ada semata karena Ia, dan bukan yang lain, yang menciptakan kita. Nilai kita ada dalam perbuatan Tuhan.
Isi paragraf ini adalah pikiranku sendiri. Mengapa ibu cenderung lebih melindungi anak? Karena ia mengandung selama sembilan bulan. Selama sembilan bulan ia mengerjakan proyek besar bernama kehamilan. Tanpa istirahat, tanpa libur, tanpa gaji. Karena ia ikut membuat seorang anak yang Tuhan ciptakan, ia menyayangi anaknya. Betapa jauh lebih besar lagi kasih Tuhan, yang “menenun aku dalam kandungan ibuku” (Mazmur 139:13)! Ia menciptakan jiwa kita ex nihilo. Dari gak ada menjadi ada. “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yesaya 49:15). Karena itu, Yesus berkata, “Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.” (Matius 10:31)
Aku mau SobaTanda ingat hal ini: Yesus mati di kayu salib. Ia menghapus dosa. Yesus juga memberi kita Roh Kudus. Ia berkata bahwa siapa dijadikan demikian, dilahirkan kembali. Bukan berarti kita diberi harga baru, bukan juga berarti orang yang tidak dibaptis dan belum diampuni kurang berharga. Yesus mau berkata, ia ikut campur bukan hanya di masa lalu, tapi juga sekarang, dan bahkan sampai akhir hidup kita. Akhir karyanya di masa depan indefinite/tidak bisa ditentukan, soalnya kita nggak tau kapan kita mati. Dengan karyanya, Tuhan juga mau ngasih tau, harga kita adalah tak terhingga, sebab harga kita dan setiap orang adalah TUHAN SENDIRI. Itulah satu – satunya harga yang bisa melampaui kekuatan dosa dan Iblis.
Now Christ made satisfaction, not by giving money or anything of the sort, but by bestowing what was of greatest price—Himself—for us.
Thomas Aquinas, “Summa Theologica”, Terj. “Fathers of the English Dominican Province”, https://www.newadvent.org/summa/4048.htm.
SobaTanda, setiap orang berharga, karena Tuhan terlibat sejak awal sampai akhir. Kita tidak bisa mengetahui, apalagi menilai, karya besar bernama manusia, dari awal sampai akhir. Pasti banyak yang ke-skip! Cukupkanlah penilaian pada kelakuan, bukan diri orang itu sendiri. Sebuah cerita kecil, aku dulu paling anti sama kelakuan orang, katakanlah X. Sejam kemudian, aku berlaku sama persis seperti orang X. Hal itu berulang sampai aku melepaskan penghakiman bertopeng “dia jahat dan aku baik”. Dua hal yang kita tahu pasti, kalau para pembunuh Tuhan Yesus aja diampuni, pasti kita juga akan diampuni. Tapi kita tidak akan diampuni, kalau kita tidak mengampuni mereka, betapapun besarnya kejahatan mereka. Kerugian yang harus kita bayar adalah Tuhan yang telah kita tolak.
Kevin Reiner Hidayat
Daftar Pustaka
Sumber Daring
BBC.com, “Kasus Dugaan Inses Anak dan Ibu di Bukittinggi, ‘Polisi Harus Menindaklanjuti’“, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cj7rgmn8v3xo
Bilal Ramadhan, Republika.com, “Heboh Kasus Inses Ibu dan Anak di Bukittinggi, Ini Kata Psikolog” https://news.republika.co.id/berita/rwpc4i330/heboh-kasus-inses-ibu-dan-anak-di-bukittinggi-ini-kata-psikolog
Kumparan, “Kasus 4 Kerangka Bayi di Purwokerto: Ayah Diduga Inses dengan Anak Ditangkap“, https://kumparan.com/kumparannews/kasus-4-kerangka-bayi-di-purwokerto-ayah-diduga-inses-dengan-anak-ditangkap-20fcJhm0ADj/full.
Plato, “Apology“, terj. Benjamin Jowett, https://classics.mit.edu/Plato/apology.html.
Thomas Aquinas, “Summa Theologica”, Terj. “Fathers of the English Dominican Province”, https://www.newadvent.org/summa/4048.htm.
Tribunnews, “7 Bayi Hasil Inses Ayah-Anak di Banyumas sejak 2012 Bukan Korban Aborsi tapi Dibunuh lalu Dikubur“, https://www.youtube.com/watch?v=rLKCRJ8iivw.
Sumber Luring
Williams, Linda L. Nietzsche’s Mirror: The World as Will to Power. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, 2001.