Logo TandaSalib

Bayem Sore, Media Sosial, dan Problem Keserakahan akan Kuasa

Bayem Sore dalam podcast "Seadanya" berjudul "Tentang Manusia dan Akalnya".
Bayem Sore. Sumber: Republika.co.id.

“Bisa Jadi Gue Menang… Soal Pemikiran”

Lu punya duit, lu punya kuasa… tapi bagi gue nggak….” SobaTanda ada yang belum denger ungkapan ini? Asli aku ngakak ketika kalimat ini diulang – ulang dan diparodikan di sosmed. Asli, ketika aku denger cuplikan dimana dia ngomong “ibaratnya gue gak bermateri, lawan orang yang bermateri”, gue kira orang ini ngebahas hantu…

Kalimat ini diucapkan oleh seorang pemuda dengan alias “Bayem Sore”, artinya sayur bayam yang udah gak enak dan kurang baik untuk dimakan. Podcast dimana dia ngomong ngalor – ngidul ala anak tongkrongan berjudul “Tentang Manusia dan Akalnya” diberi cover “Sebenarnya Apasih yang Manusia Cari ???“, dan sebenarnya judulnya baik. Hanya saja, kedalaman analisis dan refleksinya kurang akibat kurangnya sumber dan logika.

Kenapa aku bilang baik? Problem manusia yang mencari sesuatu dalam hidupnya adalah problem yang sudah ada di sepanjang peradaban manusia. Sejak kisah Adam dan Hawa memakan buah terlarang ditulis, problem ini sudah dibahas. Kalau Adam dan Hawa punya segalanya, bahkan punya Tuhan yang dekat dengan mereka, kenapa mereka mau mencari sesuatu yang lebih dari Dia? Maka pernyataan Bayem Sore, terlepas dari caranya menjawab, sangat penting, sangat mendasar.

“Apasih yang Manusia Cari?”

Apa sih yang manusia Indonesia cari? Menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dimuat di indonesiabaik.id, orang Indonesia suka mencari informasi. Informasi itu mereka cari di internet.

… pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Jumlah tersebut meningkat 2,67% dibandingkan pada periode sebelumnya yang sebanyak 210,03 juta pengguna. Jumlah pengguna internet tersebut setara dengan 78,19% dari total populasi Indonesia yang sebanyak 275,77 juta jiwa. Bila dibandingkan dengan survei periode sebelumnya, tingkat penetrasi internet Indonesia pada tahun ini mengalami peningkatan sebesar 1,17 persen dibandingkan pada 2021-2022 yang sebesar 77,02%…. 

indonesiabaik.id, “Pengguna Internet di Indonesia Makin Tinggi”, https://indonesiabaik.id/infografis/pengguna-internet-di-indonesia-makin-tinggi

Berdasarkan survei Reuters, mereka khususnya mencari informasi di media sosial.

Berdasarkan hasil survei, masyarakat Indonesia memilih media online dan media sosial sebagai sumber berita paling populer. Sampel yang diambil memang cenderung urban, tetapi TV dan radio masih menjadi pilihan bagi jutaan orang yang tidak memiliki atau terbatas dengan akses internet. Sumber berita yang diperoleh masyarakat Indonesia berasal dari: Media online (termasuk media sosialnya) 88 persen, Media sosial 68 persen, Televisi 57 persen, Media cetak (koran, majalah, dan sejenisnya) 17 persen.

kompas.com, “Survei Reuters: 68 Persen Masyarakat Indonesia Mengakses Berita dari Medsos”, https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/06/17/153126682/survei-reuters-68-persen-masyarakat-indonesia-mengakses-berita-dari

Menurut survei APJII yang lain, orang Indonesia cenderung mencari informasi hiburan daripada informasi berat dan berbobot, meski informasi kesehatan sudah lebih dicari akibat Pandemi yang lalu.

Penelitian juga menemukan fakta bahwa masyarakat Indonesia saat ini lebih memberi perhatian pada konten kesehatan di internet. Terbukti konten-konten yang mengupas topik ini menduduki posisi puncak dengan persentase 39,96 persen. Hal ini tak terlepas dari munculnya pandemi Covid-19 yag mendorong masyarakat lebih giat menjaga kesehatan untuk hidupnya yang lebih sehat. Tak jauh dari aktifitas kesehatan, konten olahraga menyusul posisi selanjutnya dengan hasil 34,34 persen dari responden.

Okti Nur Alifia, “Survei: Orang Indonesia Masih Doyan Konsumsi Konten Hiburan dan Olahraga Ketimbang Isu Berat”, https://www.dream.co.id/lifestyle/survei-ungkap-konten-gosip-lebih-disukai-ketimbang-konten-pendidikan-230608h.html

Jadi, orang Indonesia suka nyari informasi di media sosial soal hiburan dan olahraga. Kaitan antara media sosial dan perilaku manusia seperti ini diteliti dengan serius. Media sosial sukses mendapat pelanggan, karena konten dan metode penyajian konten di media sosial berpengaruh ke psikologi manusia. Menurut Ostic dkk.:

The H4a results suggests that substantial use of social media use leads to an increase in smartphone addiction. These findings are in line with those of Jeong et al. (2016), who stated that the excessive use of smartphones for social media, entertainment (watching videos, listening to music), and playing e-games was more likely to lead to smartphone addiction. These findings also confirm the previous work of Jeong et al. (2016)Salehan and Negahban (2013), and Swar and Hameed (2017). The H4b results revealed that a single unit increase in smartphone addiction results in a 6.8% decrease in psychological well-being. These findings are in line with those of Tangmunkongvorakul et al. (2019), who showed that students with higher levels of smartphone addiction had lower psychological well-being scores. These findings also support those of Shoukat (2019), who showed that smartphone addiction inversely influences individuals’ mental health.

Frontiers Psychology, 21 June 2021, Human-Media Interaction, Volume 12 – 2021, https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.678766

Kutipan di atas menjelaskan bahwa penggunaan gawai secara berlebihan, spesifiknya menggunakan media sosial, mendengarkan lagu, dan bermain, menimbulkan kecanduan gawai. Penggunaan gawai secara berlebihan tersebut mengakibatkan keadaan psikologis memburuk, kalau diukur sebesar 6,8%. Jadi, semakin kita menggunakan gawai untuk mendapat hiburan, kita malah menjadi semakin tidak terhibur – sebuah lingkaran setan!

“Lu Punya Duit, Lu Punya Kuasa”…?

Mari kita dalami lingkaran setan tadi. SobaTanda, untuk mengakses media sosial, kita perlu pulsa/membayar tagihan penyedia jaringan. Untuk membayar mereka, kita perlu uang. Kalau kita sudah punya uang, kita punya kuasa untuk mengakses jaringan dan memasuki media sosial. Di situ, kita bisa mendapat apa yang kita mau. Benarkah? Apa sih kuasa itu? Kok bisa kejebak di lingkaran setan, kalau kita punya kuasa? Bukankah kuasa itu bisa membebaskan kita?

We are cognizant of only our commands. That is because commanding gives us a feeling of power that obedience does not. … as Nietzsche reminds us, there can be no “commanding” without “obeying”; there cannot be resistance without something resisting and something that must be resisted. A myriad of feelings are fighting for expression. Some of those feelings will “win out” over others; some feelings will “command” and others “obey.” Some thoughts about what to do next, what to go toward or away from, will be sup- pressed; others, pursued. For Nietzsche, intentions do not arise ex nihilo and “cause” actions. It only seems that way because we do not choose to focus on the “obeying” sensations. They do not give us a sensation of power.

Linda L. Williams, “Nietzsche’s Mirror: The World as Will to Power”, Lanham: Rowman & Littlefield, 2001, 30.

Manusia memiliki berbagai dorongan dan kecenderungan. Nama yang diberi Nietzsche adalah “kehendak”. Kehendak ini saling bersaing untuk dipilih. Kecenderungan artinya, sebuah dorongan dipilih berkali – kali, dan menjadi kebiasaan. Bagi Nietzsche, menurut Williams, kehendak yang menang dalam proses pemilihan menundukkan dorongan lain. Dorongan yang menang memberi rasa berkuasa tertentu pada seseorang. Dorongan yang tunduk tidak memberi rasa kuasa. Orang merasakan kuasa dari dorongan itu, dan kuasa itu tentu mereka nikmati rasanya, sehingga orang memilih dorongan itu, lagi dan lagi. Jadi, kuasa adalah sebuah perasaan yang dikehendaki dan dicari oleh orang, dengan kata lain “Kehendak Kuasa” (Will to Power).

so it seems that there are amounts of will to power, which would not contradict our first interpretation of two different kinds of will to power. But the above passage implies that will to power has only to do with striving for superiority, and, for Nietzsche, being able to give anything—love, aid, money, even harm or pain— reflects the giver’s superiority over the recipient. This would mean that, for Nietzsche, giving money to charities and inflicting pain on someone weaker express the same basic kind of act—a demonstration of superiority over someone else.

Linda L. Williams, “Nietzsche’s Mirror”, 34.

Kalau teks Williams ditelaah lagi, orang bisa memberi sesuatu kepada orang untuk merasa berkuasa, dalam kasus ini baik konten maupun sistem untuk menyampaikan konten itu (media sosial). Jumlahnya cukup sedikit saja. Pencipta media sosial, pencipta konten, para pengomentar, dan beberapa orang lain yang terlibat di dalam media sosial memberi kita sesuatu konten atau sistem media sosial, tetapi bukan untuk kebaikan kita. Mereka mau merasa berkuasa, maka mereka memberi kita konten. Mereka mau merasa berada di tempat yang lebih tinggi dan memberi kita, yang ada di bawah, sesuatu, supaya mereka merasa bahwa diri mereka lebih baik. Jadi memberi bisa menjadi topeng untuk merasa bahwa diri kita lebih baik dari orang yang kita berikan sesuatu, seperti orang partai yang memberi sumbangan dengan karung berlambang partai dan disertai foto mereka.

SobaTanda, di media sosial, banyak orang yang memang seperti itu. Banyak orang membuat konten, entah konten tidak senonoh, konten penipuan, hoax, nasihat menjadi kaya, bahkan menciptakan konflik, seringkali bukan hanya untuk mendapat uang, tetapi supaya mereka mendapat validasi bahwa mereka itu oke, entah badannya, entah pikirannya, entah apapun yang ingin disanjung orang. Bahkan tanpa disanjung atau diberi hati, jempol, stiker, atau apapun, beberapa dari mereka sudah merasa hebat, punya kuasa! Kalau tidak, mengapa ketika mereka diberi respon negatif, mereka tetap memberi konten? Mereka sudah kecanduan dan serakah akan rasa berkuasa yang didapat dari membuat konten, mendapat uang, mendapat tanggapan dan komentar, menciptakan konflik, dan lain – lain. Jadi, di media sosial, kita terjebak jerat rasa ingin berkuasa yang kita cari dan kita adakan sendiri di dalam hati. Pembuat media sosial tentu merasa lebih berkuasa, ditambah lagi mereka mendapat uang dari sistem yang mereka ciptakan. SobaTanda, hati – hati, jangan sampe kita saling menghancurkan karena ingin meninggikan diri dan berkuasa!

Tentang Manusia dan Tuhannya

Gue diciptain buat apa ya?” Begitu pertanyaan Bayem. Kemudian dia tersenyum, karena dia pun sadar bahwa itu pertanyaan yang susah dijawab, dan jawaban Bayem adalah “satu… lu ibadah aja sama gue (Tuhan)”. Penjelasan dan uraiannya memang tidak ada sama sekali, dan jawabannya diwarnai ajaran agama tertentu. Kalau kita mau melihat ke kitab suci umat Kristen, Alkitab, itu adalah bagian dari perintah Allah kepada Bangsa Israel: Akulah TUHAN, Allahmu…. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku…. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu…” (Bdk. Kel 20:2-3,5). Jadi jawaban Bayem akan pertanyaan itu tepat menurut ajaran Kristen. Jangan sampai media sosial menjadi penguasa bagi kita, yang sesekali bagi – bagi kuasa, tapi nyaris selalu menguasai hidup kita.

Apakah kita bisa berhenti di Perintah Allah? Sebaiknya tidak. Sisi relasi antar manusia perlu dijaga. Jika dorongan – dorongan yang kita menangkan biasanya dorongan yang melukai, kita bisa memilih panggilan lembut lain di dalam hati. Misalnya, di tengah dorongan untuk memukul adik, kita dengarkan panggilan lembut untuk menghibur dia di saat lelah belajar. Jika kita didesak untuk berlaku korupsi, kita dengarkan panggilan lembut untuk menolak dengan lembut dan tegas. Berkaitan dengan survei tadi, jika kita terdorong untuk menggowes gawai, dengarkan panggilan lembut yang mencari kita, yang memanggil kita untuk bekerja, berdoa, dan berelasi. Inilah panggilan dari atas, dari Tuhan. Kalo kita ketemu sama panggilan itu, hidup kita sudah aman, dan kita berhak bicara panjang lebar tentang manusia dan akalnya. Kita sudah ketemu Empunya.

Kevin Reiner Hidayat

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Daring

indonesiabaik.id, “Pengguna Internet di Indonesia Makin Tinggi”, https://indonesiabaik.id/infografis/pengguna-internet-di-indonesia-makin-tinggi, diakses 12 Juli 2023.

kompas.com, “Survei Reuters: 68 Persen Masyarakat Indonesia Mengakses Berita dari Medsos”, https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/06/17/153126682/survei-reuters-68-persen-masyarakat-indonesia-mengakses-berita-dari, diakses 12 Juli 2023.

Okti Nur Alifia, “Survei: Orang Indonesia Masih Doyan Konsumsi Konten Hiburan dan Olahraga Ketimbang Isu Berat”, https://www.dream.co.id/lifestyle/survei-ungkap-konten-gosip-lebih-disukai-ketimbang-konten-pendidikan-230608h.html, diakses 12 Juli 2023.

Frontiers Psychology, 21 June 2021, Human-Media Interaction, Volume 12 – 2021, https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.678766, diakses 12 Juli 2023.

Sumber Luring

Linda L. Williams, “Nietzsche’s Mirror: The World as Will to Power”, Lanham: Rowman & Littlefield, 2001.