SobaTanda,
Hari ini, nenekku meninggal dunia di usia 97 tahun. Acara retret hari Jumat sampai Minggu kubatalkan. Aku dan keluargaku memesan tiket ke Bangka dan berangkat hari ini juga. Kami hendak menguburkannya di hari Minggu ini.
Di pesawat, waktu terasa berjalan dengan cepat. Pikiranku dipenuhi berbagai urusan (akomodasi di Bangka, acara yang harus kulewatkan di Jakarta, dan pikiran – pikiran soal ayahku yang sudah ditinggal kedua orang tuanya). Aku sadar, aku kurang menghayati peristiwa ini. Aku pun berefleksi soal kematian.
Di tengah refleksi, ada seorang anak yang berkata, “awan ganteng, awan cantik” ke awan yang memenuhi langit. Aku teringat akan St. Fransiskus, yang memanggil segala sesuatu dengan sebutan “saudara”. Memang kemurnian dan kemanisan hati seorang anak luar biasa. Mereka bisa melihat dengan mata hati yang setajam St. Fransiskus. Mungkin, keinginan untuk menyenangkan hati sang awan (kalau memang dianggap ada) keluar dalam bentuk pujian.
Seiring manusia menua, kita kehilangan hati yang seperti itu. Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri membuat kita buta pada fakta bahwa tanpa jiwa dan roh, kita sama dengan awan yang kita pandang, daging yang kita makan, dan air yang kita minum. Kita memakai mereka semua dengan kuasa kita. Kita tidak lagi memiliki cinta eros – agape yang mencari kesenangan orang lain. Kita memiliki cinta yang menyenangkan diri sendiri. Bahkan, kita menyenangkan orang lain supaya kita juga senang!
SobaTanda, kita semua akan mati. Kita tidak bisa memilih kapan kita mati atau bagaimana kita mati. Kita hanya bisa mempersiapkan keadaan kita yang direlakan kalau kita harus mati. Semoga, kita bisa memuji Allah dalam sakratul maut dengan hati seperti anak itu…